Nikah dibawah tangan atau yang juga disebut dengan nikah sirri adalah fenomena yang sering terjadi di tengah masyarakat jika diteliti secara seksama, kondisi ini tidak hanya tejadi pada kalangan masyarakat, tradisional pedesaan tetapi juga terjadi pada masyarakat perkotaan yang mungkin tingkat pola pikir mereka lebih maju disamping tercukupinya segala informasi dan pengetahuan kekinian.
Nikah dibawah tangan adalah pernikahan yang dilakukan diluar pengawasan petugas pencatat nikah sehingga pernikahan tersebut tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang muslim dan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil bagi yang non muslim. Meskipun Undang-Undang perkawinan sudah berlaku sejak 32 tahun lalu, praktek perkawinan yang melanggar Undang-Undang ini masih saja terjadi dengan berbagai alasan. Karena adanya pencatatan perkawinan di bawah tangan, maka beberapa problematika dan implikasi negatif langsung menghadang.
Nikah
siri dalam persepsi yang tersebar di masyarakat terdapat beberapa gambaran:
- Pernikahan laki-laki dan wanita dibawah tangan, yaitu tanpa adanya pencatatan resmi di lembaga resmi yang menangani pernikahan.
- Pernikahan yang diadakan tanpa adanya wali pihak wanita.
Kaitannya dengan pernikahan siri, dalam
penafsiran yang kedua, yaitu pernikahan yang hanya dilangsungkan oleh kedua
belah pihak, tanpa adanya wali dari pihak wanita, maka pernikahan tersebut
batal dan tidak sah.
Sistem hukum Indonesia tidak mengenal
istilah “kawin bawah tangan” dan semacamnya dan tidak mengatur secara khusus
dalam sebuah peraturan. Namun secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi
perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi
ketentuan undang-undang yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan
yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan pasal 2 ayat 2.
Dampak
dari Perkawinan Bawah Tangan
- Terhadap Istri
Secara Hukum:
v Tidak dianggap
sebagai istri sah
v Tidak berhak
atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia
v Tidak berhak atas
gino gini jika terjadi perpisahan karena secara hukum perkawinan dianggap tidak
pernah terjadi
Secara Sosial:
Akan sulit bersosialisasi karena perempuan
yang melakukan perkawinan bawah tangan sering dianggap telah tinggal serumah
dengan laki-kai tanpa ikatan perkawinan (alias kumpul kebo) atau anda dianggap
menjadi istri simpanan.
- Terhadap Anak
v Status anak yang
dilahirkan pada perkawinan bawah tangan dianggap anak luar kawin.
Konsekwensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga
ibu. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya (pasal 42
dan pasal 43 UU Perkawinan, pasal 100 KHI). Didalam akte kelahirannya pun
statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu
yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak
tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara social dan psikologis
bagi si anak dan ibunya.
v Ketidakjelasan status
si anak di muka hukum mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat
sehingga bisa saja suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah
anak kandungnya.
v Yang jelas merugikan
adalah anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan , nafkah dan
warisan dari ayahnya.
- Terhadap laki-laki atau Suami:
Hampir tidak ada dampak mengkhawatirkan
atau merugikan bagi diri laki-laki atau suami yang menikah bawah tangan dengan
seorang perempuan. Yang terjadi justru menguntungkan dia, karena:
v Suami bebas untuk
menikah lagi, karena perkawinan sebelumnya yang di bahwah tangan dianggap tidak
sah di mata hokum
v Suami bisa berkelit
dan menghindar dari kewajibannya memberikan nafkah baik kepada istri maupun
kepada anak-anaknya
v Tidak dipusingkan
dengan pembagian harta gono-gini, warisan dan lain-lain
Beberapa hal yang menyebabkan terjadinya perkawinan di bawah tangan adalah sebagai berikut:
a. Karena melakukan poligami, sulit mendapat istri sebelumnya.
b. Calon istri sudah hamil duluan sebelum menikah.
c. Perselingkuhan.
d. Menjaga diri dari perbuatan dosa (zina).
e. Tidak mendapat restu dari orang tua.
f. Calon istrinya mantan suami PNS atau TNI Polri.
g. Kedua mempelai sudah sama-sama berusia senja.
h. Tidak cukup syarat dan malas mengurus persyaratan yang sesuai prosedur
0 comments:
Post a Comment