Golongan yang mengakui kehujjahan maslahah mursalah dalam pembentukan hukum (Islam) telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang harus dipenuhi, sehingga maslahah tidak bercampur dengan haw nafsu, tujuan dan keinginan yang merusak manusia dan agama. Sehingga seseorang tidak menjadikan keinginannya sebagai ilhamnya dan menjadikan syahwatnya sebagai syari’atnya.
Syarat-syarat
itu adalah sebagai berikut:
1. Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan. Serta
mempunya disiplin ilmu tertentu memandang bahwa pembentukan hukum itu harus
didasarkan pada maslahah hakikiyah yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan
dapat menolak bahaya dari mereka.
2. Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk
orang tertentu dan tidak khusus untik beberapa orang dalam jumlah sedikit. Imam
Al-Ghazali memberi contoh tentang maslahah yang bersifat meyeluruh ini dengan
suatu contoh: orang kafir telah membentangi diri dengan sejumlah orang dari
kaum muslimin. Apabila kaum muslimin dilarang membunuh mereka demi memelihara
kehidupan orang Islam yang membentangi mereka, maka orang kafir akan menang,
dan merek akan memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan apabila kaum muslimin
memerangi orang Islam yang membentangi orang kafir maka tertolaklah bahaya ini
dari seluruh orang Islam yang membentangi orang kafir tersebut. Demi memelihara
kemaslahatan kaum muslimin seluruhnya denfan cara melawan atau memusnahkan
musuh-musuh mereka.
3. Maslahah itu harus sejalan dengan
tujuan hukum-hukum yang dituju oleh
Syar’i. Maslahah tersebut harus dari jenis maslahah yang didatangkan oleh
Syari’. Seandainya tidak ada dalil tertentu yang mengakuinya, maka maslahah
tersebut tidak sejalan dengan apa yang telah dituju oleh Islam. Bahkan tidak
dapat disebut maslahah.
4. Maslahah itu bukan maslahah yang tidak benar, dimana nash
yang sudah ada tidak membenarkannya, dan tidak menganggap salah.
KEHUJJAHAN
MASLAHAH MURSALAH
Dalam
kehujjahan maslahah mursalah terdapat perbedaaan pendapat di kalangan ulama
ushul di antaranya:
1. Maslahah
mursalah tidak dapt menjadi hujjah/dalil menurut ulama-ulama syafi’iyyah, ulama-ulama hanafiyyah, dan sebagian ulama malikiyyah, seperti Ibnu ajib dan ahli
zahir.
2. Maslahah
mursalah dapat menjadi hujjah/dalil menurut sebagian ulama Maliki dan sebagian
ulama Syafi’i. Tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh
ulama-ulama ushul. Jumhur hanafiyyah dan syafi’iyyah mensyaratkan tentang
maslahah ini, hendaknya dimasukkan di bawah qiyas, yaitu bila terdapat hukum ashl yang dapat diqiyaskan kepadanya
dan juga terdapat illat mudhabit (tepat), sehingga dalam hubungan hukum itu terdapat tempat untuk merealisir
kemaslahatan. Berdasarkan pemahaman ini, mereka berpegang pada kemaslahatan
yang dibenarkan syara’, tetapi mereka lebih leluasa dalam menganggap maslahah yang dibenarkan syara’ ini, karena
luasnya pengetahuan mereka soal pengetahuan syari’ (Allah) terhadap illat
sebagai tempat bergantungnya hukum yang merealisir kemaslahatan. Hal ini karena
hampir tidak memiliki dalil yang mengakui kebenarannya.
3. Imam
Al-Qarafi berkata tentang maslahah mursalah:
Artinya:
“Sesungguhnya
berhujjah dengan maslahah mursalah dilakukan oleh semua mahzab, karena mereka
melakukan qiyas dan mereka membedakan antara satu denan yang lainnya karena
adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat.”
Diantara para ulama yang paling banyak melakukan
atau mengguanakan maslahah mursalah ialah Imam Malik dengan alasan; Allah
mengutus utusan-utusannya untuk membimbing umatnya kepada kemaslahatan. Kalau
memamng mereka diutus demi membwa kemaslahatan manusia, maka jelaslah bagi kita
bahwa maslahah itu salah satu yang dikehendaki oleh syara’/agama mengingat
hukum Allah untuk kepentingan umat manusia baik dunia maupun akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
Uman, Caerul.
Dkk. 1998. Ushul Fiqh 1. Bandung:
Pustaka Setia
Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh 1. Jakarta: LOGOS (Wacana
Ilmu dan Pemikiran)
Abu Zahrah, Muhammad. 2002. Ushul fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus