Daerah mulai mensosialisasikan Undang-undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Banyak pihak berharap (seluruh elemen masyarakat) bahwa Undang-undang (UU) No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berbuah manis. Pasalnya, sebelum dilakukannya revisi terhadap UU tersebut publik selalu dirugikan dan dikalahkan dalam kasus apapun yang bersentuhan dengan penegakan hukum lingkungan.
Masih hangat diingatan, bagaimana Lapindo, perusahaan milik mantan Menko Kesra Aburizal Bakrie meluluhlantakkan hampir sebagian daratan Sidoarjo, Jawa Timur menjadi lautan Lumpur yang kita kenal dengan LUSI (lumpur sidoarjo). Kemudian ganasnya perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) PT. Freeport Indonesia yang menggerus alam Papua dan bopeng-bopengnya Bangka Belitung oleh mesin-mesin penggerus PT. Timah.
Tentu, hal tersebut tak mudah dilupakan dan akan menjadi kenangan pahit bagi masyarakat yang tinggal di daerah itu betapa persoalan lingkungan hidup selalu di nomor sekian-kan. Belum dilupakan, bahwa di era orde baru maupun setelahnya, percepatan pembangunan selalu dijadikan jargon dan dibenarkan oleh pemerintah untuk kemudian merusak lingkungan.
Transmigrasi, kendati dimaksudkan baik, tetap saja implikasinya merusak lingkungan, karena dilakukan dengan membuka hutan. Tak disadari, dengan membuka maka merusak, yang dampaknya bisa dirasakan saat ini, bumi semakin panas dan banjir acap kali musim penghujan datang. Tak ayal, semua pihak (termasuk pemerintah) dengan lantang berteriak saat bencana-demi bencana akrab dengan negeri.
Belum lama ini teriakan publik dan republik berubah menjadi paduan suara. Semuanya bersepakat kerusakan dan perusakan lingkungan harus dihentikan, yang paling nyata adalah dilakukannya revisi UU 23/1997 dan disahkannya UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lantas manfaat apa yang dirasakan oleh masyarakat luas dari aturan baru tersebut ?
Dalam UU tersebut telah ditegaskan bahwa kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) yang selama ini dipasung menjadi berkekuatan secara hukum dan memiliki otoritas yang lebih luas.
Artinya, jika selama ini KLH selalu menyerahkan kasus perusakan lingkungan hidup kepada pihak yang lebih berwenang, ke depan KLH bisa lebih leluasa untuk menyelesaikan kasus-kasus yang berhubungan dengan otoritasnya. “Sebelum disahkan revisi UU tersebut KLH mandul. Hanya menginventaris kasus tanpa bisa menindaklanjuti,” kata Asep Warlan, Pakar Hukum Lingkungan dari Universitas Parahiyangan, di Bandung belum lama ini.
Senada dengan Asep, Setyo S Moersidik, Pengamat dan Pakar Lingkungan Hidup dari Universitas Indonesia (UI) mengatakan, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) perlu membuat langkah fundamental penegakan lingkungan hidup untuk mengubah persepsi lingkungan menjadi berwawasan lingkungan. "Mengubah persepsi pembangunan menjadi berwawasan lingkungan misalnya dengan gebrakan menangkap penjahat lingkungan,"katanya Setyo yang merupakan Ketua Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana UI tersebut mengatakan dengan salah
satunya gebrakan penegakan lingkungan tersebut, diharapkan pembangunan yang selama ini berorientasi ekonomi dapat menjadi pembangunan yang berkelanjutan.
Menurutnya, KLH ke depannya perlu menyelesaikan beberapa masalah utama untuk menjawab permasalahan lingkungan ke depan, antara lain perlu kebijakan strategis untuk menjawab keinginan para pihak bidang lingkungan hidup.
Kebijakan strategis yang dimaksud misalnya dalam hal pemberian izin oleh pemerintah daerah terhadap hal strategis dan berdampak penting pada lingkungan seperti izin pemanfaatan hutan dan pertambangan.
Setyo mengatakan esensi pokoknya adalah bagaimana struktur dan kelembagaan KLH ke depan mampu menjawab peran dan fungsi KLH dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang baru disahkan oleh DPR.
Anggota DPR dari Partai Amanat Nasional (PAN), Tjatur Sapto Edi mengakui lemahnya otoritas yang dimiliki oleh pemangku lingkungan hidup karena aturan yang belum mendukungnya. Dia melihat masih kurangnya penindakan dan penegakan lingkungan hidup oleh KLH selama lima tahun terakhir ini. "Lima tahun terakhir saya belum melihat atau mendengar adanya penjahat lingkungan yang dituduh atau dihukum beberapa tahun," katanya.
Terlepas dari peran KLH, penetapan UU No 32 telah bergaung di daerah. Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kalimantan Tengah (Kalteng) misalnya, mereka mulai melakukan sosialisasi aturan baru tersebut secara informal. "Kami sudah mulai melakukan sosialisasi ke seluruh kabupaten tentang perundang-undangan Lingkungan hidup secara informal," kata Esau A Tambang, Kepala Sub Bidang Akses Informasi dan Mitra Lingkungan, BLH Provisi Kalimantan Tengah baru-baru ini.
Esau menjelaskan dengan adanya UU Lingkungan Hidup No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup ini, maka sebagian besar mempengaruhi kewajiban dan tugas dari BLH provinsi.
Beberapa program yang kini tengah menyesuaikan dengan UU tersebut yakni, Rencana Inventarisasi Lingkungan Hidup, Kajian Lingkungan Hidup dan penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH).
Ketiga program ini menurutnya sangat mendesak untuk segera dilaksanakan sebab merupakan tahapan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang telah ditetapkan oleh UU.
Kalteng sendiri telah memiliki beberapa perangkat untuk perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup untuk daerah Kalteng yang masih kaya dengan sumber daya alam (SDA). Untuk itu menurut Esau Pemerintah Kalimantan cukup melakukan beberapa penyesuaian saja pada perda perlindungan lingkungan hidup di Kalteng, sebab UU LH ini sifatnya mendasar sedangkan teknisnya ketentuan pemerintah daerah (Pemda).
Sejalan dengan adanya UU LH ini Esau mengaku, tidak ada masalah yang berarti dalam penyesuaian peraturannya, sedangkan yang perlu diperhatikan adalah teknis pelaksanaannya.
UU PPLH yang baru di sahkan ini menuntut pelaksanaan yang bertanggung jawab, sebab baik instansi pemerintah maupun swasta yang tidak melaksanakan kewajiban akan terkena sanksi. “Kalau UU PLH terdahulu masih ada kemungkinan untuk dipelintir dan dimonopoli, sedang UU PPLH yang baru ini lebih ketat," katanya.
Pengawasan pelaksanaan UU PPLH ini nantinya akan diserahkan kepada Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup/Daerah yang memiliki wewenang menindak langsung pelanggar UU PPLH.
Sumber : http://penegakanhukum.menlh.go.id
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment