Thursday, July 23, 2015

MAKALAH FIQIH TENTANG ZAKAT

MAKALAH TENTANG ZAKAT


A. Pengertian zakat
Zakat menurut lughot artinya suci dan subur. Sedangkan menurut istilah syara’ yaitu mengeluarkan dari sebagian harta benda atas perintah Allah, sebagai shadaqah wajib kepada mereka yang telah ditentukan oleh hukum Islam. Secara harfiah zakat berarti "tumbuh", "berkembang", "menyucikan", atau "membersihkan". Sedangkan secara terminologi syari'ah, zakat merujuk pada aktivitas memberikan sebagian kekayaan dalam jumlah dan perhitungan tertentu untuk orang-orang tertentu sebagaimana ditentukan. Zakat merupakan rukun ketiga dari rukun Islam.

B. Hukum zakat
Zakat adalah salah satu rukun Islam yang lima, wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat mulai diwajibkan pada tahun kedua Hijriah.      QS (2:43) ("Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'"). “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,yaitu orang-orang yang khusyu’dalam sembahyangnya,dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna ,dan orang –orang yang mengeluarkan zakat( QS. Almu’minun 23:1-4)
“Sesungguhnya Allah mewajibkan zakat atas kaum muslimin dari harta-harta mereka, diambil dari orang-orang kaya mereka dan diserahkan kepada orang-orang miskin dari kalangan mereka.” (HR. Al-Bukhari dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma).
Berdasarkan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:

Arinya : “Islam dibangun di atas lima rukun, dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallah dan Muhammad Rasulullah, menegakkan sholat, mengeluarkan zakat, puasa di bulan Ramadhan dan haji ke baitullah bagi yang mampu.” (Muttafaqun ’alaihi)

C. Jenis zakat
      Zakat terbagi atas dua jenis yakni:
  1. Zakat Fitrah

         Zakat yang wajib dikeluarkan muslim menjelang Idul Fitri pada bulan Ramadan. Besar zakat ini setara dengan 3,5 liter (2,5 kilogram) makanan pokok yang ada di daerah bersangkutan.
Zakat fitrah dilihat dari komposisi kalimat yang membentuknya terdiri dari kata “zakat” dan “fitrah”. Zakat secara umum sebagaimana dirumuskan oleh banyak ulama’ bahwa dia merupakan hak tertentu yang diwajibkan oleh Allah terhadap harta kaum muslimin menurut ukuran-ukuran tertentu (nishab dan khaul) yang diperuntukkan bagi fakir miskin dan para mustahiq lainnya sebagai tanda syukur atas nikmat Allah swt. Dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, serta untuk membersihkan diri dan hartanya (Qardhawi, 1996:999). Dengan kata lain, zakat merupakan kewajiban bagi seorang muslim yang berkelebihan rizki untuk menyisihkan sebagian dari padanya untuk diberikan kepada saudara-saudara mereka yang sedang kekurangan.
Sementara itu, fitrah dapat diartikan dengan suci sebagaimana hadits Rasul “kullu mauludin yuladu ala al fitrah” (setiap anak Adam terlahir dalam keadaan suci) dan bisa juga diartikan juga dengan ciptaan atau asal kejadian manusia.

Dari pengertian di atas dapat ditarik dua pengertian tentang zakat fitrah. Pertama, zakat fitrah adalah zakat untuk kesucian. Artinya, zakat ini dikeluarkan untuk mensucikan orang yang berpuasa dari ucapan atau perilaku yang tidak ada manfaatnya. Kedua, zakat fitrah adalah zakat karena sebab ciptaan. Artinya bahwa zakat fitrah adalah zakat yang diwajibkan kepada setiap orang yang dilahirkan ke dunia ini. Oleh karenanya zakat ini bisa juga disebut dengan zakat badan atau pribadi (Qurthubi, t.th:279)

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka yang dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (At-Taubah: 103)
Zakat fitrah ialah zakat pribadi yang harus dikeluarkan pada bulan Ramadhan atau pada hari raya fitrah. ”Dari Ibnu ’Abbas ra,ia berkata : Rasulullah Saw, mewajibkan zakat fitrah itu selaku pembersih dari perbuatan sia-sia dan omongan –omongan yang kotor dari orang yang berpuasa dan sebagai makannan bagi orang miskin, maka barang siapa yang menunaikannya sebelum shalat ’Ied itu adalah zakat fitrah yang diterima dan barang siapa yang menunaikannya setelah shalat ’Ied maka itu hanyalah suatu shadaqah dari shadaah –shadaqah biasa ”. (HR.Abu Dawud dan Ibnu Majah,dan disahkan oleh Hakim)

Yang wajib dizakati
- Untuk dirinya sendiri; tua, muda, baik laki- laki maupun perempuan
- Orang-orang yang hidup dibawah tanggungannya
“Dari ibnu Umar ra,berkata ia: telah bersabda Rasulullah saw: Bayarlah zakat fithrah orang –orang yang menjadi tanggunganmu.” (HR.Daruquthni dan Baihaqi)

Syarat-syarat wajib zakat fithrah :
a. Islam
b. Mempunyai kelebihan makanan untuk sehari semalam bagi seluruh keluarga pada waktu terbenam matahari dari penghabisan bulan ramadhan
c. Orang-orang yang bersangkutan hidup dikala matahari terbenam pada akhir bulan Ramadhan.
Untuk zakat fithrah dari seorang yang makanan pokoknya beras tidak boleh dikeluarkan zakat dari jagung ,walaupun jagung termasuk makanan pokok tetapi, jagung nilainya lebih rendah dari pada beras. Dilihat dari aspek dasar penentuan kewajiban antara zakat fitrah dan zakat yang lain ada perbedaan yang sangat mendasar. Zakat fitrah merupakan kewajiban yang bersumber pada keberadaan pribadi-pribadi (badan), sementara zakat-zakat selain zakat fitrah adalah kewajiban yang diperuntukkan karena keberadaan harta.


2. Zakat maal (harta)   
Zakat kekayaan yang harus dikeluarkan dalam jangka satu tahun sekali yang sudah memenuhi nishab. Mencakup hasil ternak, emas & perak, pertanian (makanan pokok), harta perniagaan, pertambangan, hasil kerja (profesi), harta temuan,. Masing-masing jenis memiliki perhitungannya sendiri-sendiri. 






»»  read more

Saturday, July 4, 2015

Menjaga Tradisi Kitab Kuning di Pesantren

Menjaga Tradisi Kitab Kuning di Pesantren

Tradisi pesantren dan kitab (kuningnya) terindikasi menghadapi problem melemahnya pengajaran atau kajian kitab sebagai core dan kekhasan pendidikan pesantren. Kesimpulan ini berdasarkan pada survei pengajaran kitab kuning yang dilakukan oleh Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan tahun 2011. Survei menunjukkan bahwa frekuensi pengajaran kitab kuning di pesantren dalam beragam bidang keilmuannya tergolong rendah, baik dilihat dari kitab-kitab pilihan kiai maupun santri.

Hal ini mungkin disebabkan oleh pergeseran orientasi pendidikan pesantren, yang cenderung mengadopsi kebutuhan-kebutuhan dalam konteks kekinian, misalnya memodernisasi pelajaran pesantren dengan memasukan pelajaran-pelajaran umum, sehingga pengajaran kitab kuning sebagai kekhasan dan core pendidikan pesantren melemah.

Tentu saja hal ini bukan sebuah kesimpulan yang begitu saja dapat diterima. Mungkin saja terdapat pesantren-pesantren yang masih memiliki kekuatan tradisi kajian kitabnya, yang dapat dijadikan model bagi revitalisasi tradisi kajian kitab di pesantren. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lanjutan yang memeriksa dan mempelajari secara mendalam pesantren-pesantren yang masih memegang teguh tradisi kajian kitab.

Untuk mendapatkan data, penelitian ini melakukan pembacaan teks kitab, wawancara dan observasi terhadap komunitas pesantren yang menjadi obyek penelitian. Penelitian dilakukan di beberapa wilayah, yakni Aceh (Dayah Ruhul Fata), Sumatera Barat (Pesantren ar-Rasuli MTI Candung dan Pesantren Sumatera Thawalib Parabek), Sumatera Selatan (Pesantren Rubat al-Muhibbin Palembang, Banten (Pesantren Darul Falah dan Pesantren Al-Mustajib Madaridul Ulum Serang), Jawa Barat (Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon).

Pertama, tradisi kitab sebagai keunggulan pesantren tidak ditinggalkan, masing-masing pesantren telah menjadi “penjaga tradisi” tafaqquh fi al-din, meskipun dengan cara dan orientasi paham atau pemikiran keagamaan yang berbeda, dengan kesinambungan dan perubahan yang terjadi. Dengan demikian, ini menjadi pertanda juga bahwa frekuensi pengajaran kitab, setidaknya di pesantren diteliti, tidak bisa dikatakan rendah.

Kedua, masih berlanjutnya pesantren-pesantren tersebut dengan berbagai perubahan dan adaptasi dengan dunia modern, yakni dengan menggunakan sistem madrasah, menunjukkan sikap mereka yang terbuka terhadap perubahan dengan tetap mempertahankan kitab sebagai sumber belajar agama-bahkan sebagai sumber peradaban pesantren dalam pandangan Baso, meskipun pembacaan yang kritis dan kontekstual terhadap kitab belum sepenuhnya dilakukan. Upaya-upaya untuk mengaktualisasikan pelajaran-pelajaran dalam berbagai kitab yang diajarkan dalam bentuk penulisan makalah akhir di pesantren, maupun forum-forum diskusi (muzakarah atau bahth al-masa’il).

Dari penelitian ini tim merekomendasikan untuk:
  1. Penguatan tradisi diskusi di kalangan santri dalam memahami kitab yang dipelajari
  2. Penguatan tradisi menulis untuk mengaktualisasikan pemahaman terhadap kitab dan upaya memberikan jawaban atas persoalan umat. Untuk itu perlu dilakukan pencarian dan penunjukkan model terhadap pesantren-pesantren yang sudah menjalankan tradisi diskusi dan tradisi menulis yang baik di kalangan komunitas pesantren;
  3. Dukungan infrastruktur dan program-program yang memperkuat tradisi kajian kitab dari pemerintah, seperti MQK, bantuan koleksi kitab, dan pembinaan SDM para ustaz pesantren.

(khazanah.republika.co.id)

»»  read more

Friday, July 3, 2015

Surat Edaran Tentang Tunjangan Hari Raya (THR) bagi Pekerja / Buruh 2015

Surat Edaran Nomor : 7/MEN/IV/2015 Tentang Tunjangan Hari raya (THR). pembayaran Tunjangan Hari Raya atau THR merupakan kewajiban pengusaha kepada pekerja/buruh untuk memenuhi kebutuhan pekerja/buruh beserta keluarganya dalam merayakan hari raya Keagamaan. 

Berdasarakan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER 04/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya atau THR Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan, setiap perusahaan yang mempekerjakan pekerja atau buruh wajib memberikan Tunjangan Hari Raya atau THR Keagamaan kepada pekerja atau buruh.

Pelaksanaan pemberian THR Keagamaan. THR keagamaan diberikan kepada Pekerja atau Buruh yang telah mempunyai masah kerja 3 Bulan secara terus menerus ataun lebih.

Besaran THR Keagamaan sebagai berikut :

  • Pekerja / Buruh yang mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih mendapat sebesar 1 (satu) bulan upah.
  • Pekerja / Buruh yang kurang dari 12 bulan tetapi lebih dari 3 bulan diberikan secara  proporsional dengan perhitungan

Jumlah bulan masa kerja  x  1 (satu) bulan upah
         12 (dua belas)

THR Keagamaan  bagi Pekerja/Buruh diberikan 1 (satu) kali dalam setahun oleh perusahaan dan pembayarannya disesuaikan dengan hari raya keagamaan masing-masing pekerja/buruh, selambat lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum hari raya keagaamaan.

Untuk lebih jelas silahkan download Download Surat Edaran (SE) Menaker Nomor : 7/MEN/VI/2015  tentang Pembayaran Tunjangan Hari Raya atau THR Keagamaan tahun 2015. 

»»  read more