Sunday, December 9, 2012

KEPERDATAAN ANAK YANG LAHIR DI LUAR NIKAH

            Dari kasus yang dimuat dalam koran “Seputar Indonesia” halaman 5 yang diterbitkan tanggal 22 Meret 2012 tentang Keperdataan Anak Yang Lahir Di Luar Nikah, menurut hasil analisis yang saya lakukan kasus ini bermula dari uji materi MK mengenai kebijakan hak perdata anak yang lahir di luar nikah. Isi dari uji materi yang dilakukan pasal 43 ayat (1) No 1/1974 ini yaitu “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/ alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.  Kebijakan yang dibuat MK ini dinilai oleh para partai-partai politik bercorak islam (seperti PPP) dan tokoh-tokoh Islam lainnya seperti pimpinan pusat Muhammadiyah (Syamsudin), dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (KH.Malik Madani) mengecam keputusan MK tersebut. Mereka tidak setuju dengan isi dari kebijakan itu karena dinilai bertentangan dengan syari’at Islam. Dalam syari’at Islam anak yang lahir diluar nikah nasabnya hanya terhubung dengan ibunya dan tidak berhubungan nasab dengan ayahnya. Namun Ketua Mahkamah Konstitusi (Mahfud) mengatakan setiap manusia mempunyai martabat, dan setiap anak yang lahir harus dilindungi. Di dalam islam juga dijelaskan dalam hadits nabi bahwa setiap orang yang lahir dalam keadaan fitrah (tanpa dosa) sehingga kedua orang tuanya tidak boleh seenaknya saja, mereka harus bertanggung jawab. Dari perbedaan pendapat inilah terjadi perselisihan antara MK dan tokoh-tokoh agama Islam. Di satu sisi, MK menjujunjung tinggi nilai kemanusiaan dan persamaan hak diantara anak-anak yang lahir di dalam nikah dan yang lahir di luar nikah karena mereka sama-sama tidak berdosa dan lahir dalam keadaan fitrah. Di sisi lain para tokoh Islam menganggap keputusan ini bertentangan dengan syari’at islam dan dipandang secara implisit melegalkan kasus perzinaan dan mengakibatkan masyarakat menyepelekan lembaga perkawinan.
            Dari kasus ini hal-hal yang masuk dalam wilayah hukum perdata berupa nasab, perwalian, waris, dan nafkah. Hal ini dikerenakan hukum perdata merupakan sistem hukum yang megatur hubungan antar pribadi didalam memenuhi kepentingan-kepentingannya. Bagi seorang anak Nasab (hubungan kekerabatan) merupakan suatu hal yang sangat penting, hal tersebut diperlukan untuk mendapatkan kasih sayang, sosialisasi nilai-nilai, cinta kasih, perlindungan, kceriaan, kehangatan keluarga kerabat, dan sebagainya. Sehingga seorang anak sangat membutuhkan kerabat (keluarga dekat) sebagai agen sosialisasi utama yang membawa karakter dia kelak ketika dewasa. Maka dari itu hubungan kekerabatan tidak boleh terganggu dan harus berjalan sebagaimana mestinya untuk semua anak tidak terkecuali anak yang lahir di luar nikah. Selanjutnya kebutuhan akan perwalian, bagi seorang anak perwalian dari kedua orang tuanya sangat diperlukan dan merupakan salah satu bentuk kepentingan anak baik ketika masih kecil sampai kelak ketika menjalani proses perkawinan. Ketika masih anak-anak kebutuhan akan perwalian dibutuhkan ketika ada wali murit seperti pengambilan laporan hasil belajar siswa, rekomendasi kasanggupan pembayaran biaya sekolah, dan sebagainya. Ketika sampai ke pernikahan perwalian dari orang tua juga masih diperlukan sebagai wali dari pihak pengantin putri untuk keabsahan pernikahannya. Selanjutnya mengenai ahli waris, anak yang dilahirkan diluar pernikahan tentunya juga akan sama dengan anak yang lahir dalam ikatan perkawinan orang tuanya. Mereka sama-sama memiliki hasrat untuk mendapatkan harta warisan dari ke-2 orang tuanya. Dan hal itu juga merupakan suatu hak yang penting misalnya untuk mendapatkan modal sebagai langkah awal memulai suatu usaha. Lalu yang terakhir mengenai pemberian nafkah, pemberian nafkah merupakan suatu hal yang sangat penting dan sangat dibutuhkan oleh seorang anak (tidak terkecuali anak yang lahir di luar nikah). Hal ini di karenakan seorang anak sangat memerlukan makanan, pakaian, temtinggal, dan sebagainya dan mereka belum mampu dan belum waktunya untuk mencukupi kebutuhan hidup dirinya sendiri. Hal inilah yang menyebabkab seorang anak sangat membutuhkan pemberian nafkah dari ke-2 orang tuanya. Inilah hal-hal yang masuk kedalam wilayah hukum perdata karena berhubunan dengan hubungan antar pribadi (anak dan orang tua) didalam memenuhi kepentingan-kepentingan (kebutuhan hidup) yang berhak untuk didapatkan sama dengan anak-anak lainnya.
            Menurut analisis yang saya lakukan terhadap kasus keperdataaan anak yang lahir di luar nikah tersebut memang masuk dalam kasus hukum perdata karena menyangkut hubungan antar pribadi (anak dan orang tua) di dalam memenuhi kepentingan-kepentingan anak, dan kasus ini juga berhubungan dengan hak seorang anak dalam memperoleh nafkah dan warisan dari ke-2 orang tuanya. Sebenarnya saya sangat setuju dengan keputusan MK yang intinya melindungi hak anak yang lahir di luar nikah. Anak yang lahir diluar nikah tersebut pada hakikatnya sama dengan anak-anak lain yang lahir dalam orang tua yang memiliki ikatan perkawinan karena sama-sama terlahir sebagai makluk yang fitrah artinya bersih dari dosa / kesalahan apa pun, dan jika ada yang harus dipersalahkan dari adanya kasus anak yang dilahirkan diluar nikah yaitu orang tuanya sebab orang tua tersebut yang menyebabkan lahirnya anak yang lahir di luar nikah tersebut. Sebagai anak yang terlahir tanpa dosa, mereka layak mendapatkan perlakuan hukum yang sama dengan anak-anak yang lainnya, karena mereka juga tidak meminta dilahirkan dari hasil zina orang tuanya. Namun disisi lain, jika kebijakan MK ini disahkan begitu saja memang berdampak secara implisit akan melegalkan kasus perzinaan (berhubungan seks diluar nikah) dan bisa menimbulkan kasus-kasus serupa yang begitu besar. Untuk itu, MK harus membuat undang-undang baru yang menghukum dengan tegas dan memberi efek jera terhadap para pelaku zina dan orang orang yang hendak melakukan zina. Dengan kata lain hak anak yang lahir diluar nikah memang harus dilindungi secara hukum dan mendapat perlakuan yang sama di mata hukum dengan anak-anak lainnya yang terlahir dalam ikatan perkawinan orang tuanya, yaitu dengan memberikan mereka hak-hak yang sama mengenai tanggung jawab kepengurusan yang harus diberikan dari ke-2 orang tuanya kepada mereka baik itu hak nasab, perwalian, warisan dan pemberian nafkah. Akan untuk menghindari meluasnya kasus semacam ini tetapi perlu dibuat hukum secara tegas yang menghukum seberat mungkin para pelaku zina agar kasus zina yang mengakibatkan lahirnya anak diluar nikah dapat berkurang atau bahkan dihilangkan dari negara Indonesia tercinta ini.

»»  read more

Pernikahan = Kebahagiaan

SumOleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Asal muasal penikahan adalah kebahagiaan. Hal itu karena dua orang yang menikah berarti telah memenuhi fitrah kemanusiaannya dengan menjalin hubungan biologis, fisik dan rohani bersama pasangannya.

Dengan kata lain, mereka yang telah menikah berarti telah memenuhi hukum alam (sunnatullah) sebagai manusia. Allah SWT berfirman, "Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya…” (QS. Ar-Rum: 21).

Kedua, nikah merupakan pelestarian sunah Rasulullah SAW. Dan barang siapa melestarikan sunahnya berarti ia masuk dalam golongannya, dan barang siapa yang tidak melakukannya tidak masuk dalam golongannya.

Rasulullah SAW bersabda, "Nikah merupakan sunahku, dan barang siapa membenci sunahku berarti ia tidak masuk dalam golonganku." (HR. Muslim).

Nikah menjadi sunah Rasulullah SAW karena pernikahan bertujuan memperbanyak keturunan. Maka bagaimana mungkin memakmurkan dan meramaikan kehidupan di bumi demi kemaslahatan bersama, jika cara memperbanyak keturunan dengan jalan yang bukan melalui pernikahan?

Ketiga, mereka yang telah menikah diberkahi Allah SWT dan akan diberikan kemampuan melalui karunia-Nya. Allah SWT berfirman, "Dan nikahilah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), maha Mengetahui." (QS. An-Nur: 32).

Keempat, mereka yang telah menikah berarti telah menyempurnakan separuh dari agamanya karena memiliki tanggung jawab keluarga, bukan sekedar tanggung jawab sendiri seperti sebelumnya.

Rumah tangga dalam konteks ini merupakan komunitas terkecil dalam suatu masyarakat yang memiliki fungsi penting dan vital bagi kehidupan bersama. Allah SWT berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu." (QS. At-Tahrim: 6).

Namun mengapa kadang-kadang pernikahan hanya seumur jagung? Mengapa pula kebahagiaan nikah hanya sebatas pada resepsi pernikahan? Mengapa percekcokan dan pertengkaran kerap mewarnai kehidupan rumah tangga?

Rasulullah SAW menjelaskan kepada kita empat kriteria yang menjadi sebab dan kecenderungan terjadinya pernikahan serta mengajarkan untuk mengutamakan satu dari empat kriteria tersebut, namun kita terkadang tidak mengindahkannya.

Rasulullah SAW bersabda, "Perempuan dinikahi karena empat perkara: hartanya, garis keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka pilihlah yang memiliki pengetahuan agama yang baik, yang akan member keselamatan kepadamu."

Kedua, intervensi pihak lain dari mana pun asalnya tidak jarang menjadi penyebab retaknya rumah tangga. Biarkanlah suami-istri melakukan adaptasi, mengatasi masalah dengan caranya sendiri, membangun kebersamaan dalam suka dan duka, niscaya mereka akan menemukan solusi-solusi baru dalam memecahkan permasalahan yang ada.

Ketiga, berusaha untuk saling mencintai dan menyayangi, menghormati dan mengalah, menjaga perasaan dan memuji, serta sikap-sikap mulia lainnya merupakan beberapa sikap yang dicontohkan Rasulullah SAW dalam menjadi kelanggengan kehidupan rumah tangga.

Demikianlah, pernikahan yang harusnya melahirkan kebahagiaan demi kebahagiaan, bukan kesedihan demi kesedihan karena ia berarti berjalan di atas fitrah kemanusiaan dan memenuhi perintah Tuhan. Wallahu a'lam.

Sumber
»»  read more

Nasab Anak Ditentukan oleh Akad Nikah, Bukan Tes DNA

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA – Tes DNA tidak bisa menentukan status anak untuk mempunyai nasab dengan laki-laki yang menghamili perempuan yang menyebabkan kelahiran anak. Namun hanya akad nikah yang bisa menentukan hubungan nasab anak dengan ayah biologisnya.

Demikian ditandaskan H Syarif Zubaidah, dosen Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) UII Yogyakarta dalam Seminar Regional ‘Menyikapi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-IX/2011 tentang Tanggung Jawab Ayah terhadap Anak di luar nikah’ di Yogyakarta, Kamis (22/3). Acara ini diselenggarakan Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Islam (P3I) FIAI UII Yogyakarta.

Dijelaskan Syarif, putusan MK yang mengakui adanya hubungan darah antara anak di luar nikah dalam hukum Islam bukan berarti membenarkan pengakuan laki-laki sebagai ayahnya. “Sebab dikatakan ayah, jika anak yang dilahirkan itu adalah anak sah. Anak sah menyebabkan lahirnya hubungan nasab anak dengan ayah. Hubungan tesebut hanya diperoleh dengan menikahi wanita yang menyebabkan lahirnya anak yang dimaksud,” kata Syarif.

Lebih lanjut, Syarif mengatakan pengakuan adanya hubungan nasab antara anak dan ayah akan menimbulkan empat hak. Yaitu, hak pengakuan terhadap anak sebagai ayah, hak ayah untuk bertanggung jawab terhadap anak, hak untuk mewarisi, dan hak ayah untuk menjadi wali bagi anak perempuan.

Menurut hukum Islam, kata Syarif, nikah itu sah jika memenuhi empat persyaratan yaitu shihhah, in’iqat, nafadh, luzum. Karena itu, tidak ada ketentuan bahwa ayah mempunyak tanggung jawab terhadap anak di luar pernikahan. Sebab penyebutan ayah hanya berlaku bagi anak sah, yaitu anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang sah.


Redaktur: Hafidz Muftisany
Reporter: Heri Purwata
 
 
»»  read more