Tuesday, December 6, 2011

Makna, Hukum, dan Tujuan Perkawinan

A. MAKNA PERKAWINAN

Pengertian Secara Bahasa
Az-zawaaj adalah kata dalam bahasa arab yang menunjukan arti: bersatunya dua perkara, atau bersatunya ruh dan badan untuk kebangkitan. Sebagaimana firman Allah 'azza wa jalla (yang artinya):

"Dan apabila ruh-ruh dipertemukan (dengan tubuh)
(Q.S At-Takwir : 7)

dan firman-Nya tentang nikmat bagi kaum mukminin di surga, yang artinya mereka disatukan dengan bidadari :

"Kami kawinkan mereka dengan bidadari-bidadari yang cantik lagi bermata jeli
(Q.SAth-Thuur : 20)

Karena perkawinan menunjukkan makna bergandengan, maka disebut juga "Al�-Aqd, yakni bergandengan (bersatu)nya antara laki-laki dengan perempuan, yang selanjutnya diistilahkan dengan "zawaaja�.

Pengertian Secara Syar'i

Adapun secara syar�i perkawinan itu ialah ikatan yang menjadikan halalnya bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan, dan tidak berlaku, dengan adanya ikatan tersebut, larangan-larangan syari'at.

Lafadz yang semakna dengan "AzZuwaaj" adalah "An-Nikaah; sebab nikah itu artinya saling bersatu dan saling masuk. Ada perbedaan pendapat di antara para ulama tentang maksud dari lafadz "An-Nikaah" yang sebenarnya. Apakah berarti "perkawinan" atau "jima'".

Selanjutnya, ikatan pernikahan merupakan ikatan yang paling utama karena berkaitan dengan dzat manusia dan mengikat antara dua jiwa dengan ikatan cinta dan kasih sayang, dan karena ikatan tersebut merupakan sebab adanya keturunan dan terpeliharanya kemaluan dari perbuatan keji.

B. HUKUM PERKAWINAN

An-Nikaah hukumnya dianjurkan, karena nikah itu termasuk sunnah Nabi Shalallahu�alaihi Wassallam sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim bahwasanya telah berkata Anas bin Malik Radhiyallahu �anhu:
Telah datang tiga orang ke rumah istri-istri nabi Shalallahu�alaihi Wassallam. Mereka bertanya tentang ibadahnya, maka tatkala telah diberitahu maka seakan-akan merasa amalnya sangat sedikit, lalu mereka berkata: "Dimana kita dibanding Rasulullah Shalallahu�alaihi Wassallam, sungguh Allah mengampuni dosa beliau yang telah lalu dan yang akan datang". Maka berkata seseorang di antara mereka, "Adapun saya, maka saya akan shalat malam selamanya", dan berkata seorang lagi, "Aku akan berpuasa sepanjang masa,� dan yang lainnya,"Aku akan meninggalkan wanita, tidak akan menikah�. Lalu datang Nabi Shalallahu�alaihi Wassallam, kemudian beliau Shalallahu�alaihi Wassallam berkata:
'Kaliankah yang telah berkata begini dan begitu ? Demi Allah, sungguh aku adalah orang yang paling takut dan paling taqwa dari kalian, akan tetapi aku shalat dan aku tidur, aku puasa dan aku berbuka, dan aku menikahi wanita. Maka barang siapa yang membenci pada sunnahku, maka dia tidak termasuk golnganku�.

Makna dari 'barang siapa yang membenci sunnahku" adalah berpaling dari jalanku dan menyelisihi apa yang aku kerjakan, sedang makna bukan dari golonganku" yakni bukan dari golongan yang lurus dan yang mudah, sebab dia memaksakan dirinya dengan apa yang tidak diperintahkan dan membebani dirinya dengan sesuatu yang berat. Jadi, maksudnya adalah barang siapa yang menyelisihi petunjuk dan jalannya Rasulullah Shalallahu�alaihi Wassallam, dan berpendapat apa yang dia kerjakan dari ibadah itu lebih baik dari apa yang dikerjakan oleh Rasulullah . Sehingga makna dari ucapan bukan dari golonganku" adalah bukan termasuk orang Islam, karena keyakinannya tersebut menyebabkan kekufuran.

Hukum nikah ini sunnah untuk orang yang bisa menanahan biologis dan tidak khawatir terjerumus ke dalam zina jika dia tidak menikah, dan dia telah mampu untuk memenuhi nafkah dan tanggung keluarga.

Adapun orang yang takut akan dirinya terjerumus ke dalam zina, jika dia tidak nikah, atau orang yang tidak mampu meninggalkan zina kecuali dengan nikah, maka nikah itu wajib atasnya. Dan untuk masalah nikah secara panjang lebar dalam kitab-kitab Fiqh.

C. TUJUAN PERNIKAHAN

Sesungguhnya perintah itu ikatan yang mulia dan penuh barakah. Allah Subhanahu Wa Ta�ala mensyari'atkan untuk kemaslahatan hamba-Nya dan kemanfaatan bagi manusia, agar tercapai maksud-maksud yang baik dan tujuan-tujuan yang mulia. Dan yang terpenting dari tujuan pernikahan ada dua, yaitu:

1. Mendapatkan keturunan atau anak
2. Menjaga diri dari yang haram

Maksud Pertama "Mendapatkan Keturunan atau Anak"

Dianjurkan dalam pernikahan tujuan pertamanya adalah untuk mendapatkan keturunan yang shaleh, yang menyembah pada Allah dan mendo'akan pada orangtuanya sepeninggalnya, dan menyebut-sebut kebaikannya di kalangan manusia serta menjaga nama baiknya. Sungguh ada dalam hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu �anhu
berkata : Adalah Nabi salallahu 'alaihi wa sallam menyuruh kami menikah dan melarang membujang dengan larangan yang keras dan Belia bersabda :

�Nikahkah oleh kalian perempuan-perempuan yang pecinta dan peranak, maka sungguh aku berbangga dengan banyaknya kalian dari para Nabi di hari kiamat.�

Al Walud (banyak anak), Al Wadud (pecinta), di mana dia mempunyai unsur-unsur kebaikan dan baik perangainya dan mencintai suaminya, Al-Makaatsarat ialah bangga dengan banyaknya umat shallallahu alaihi wa alaihi wa sallam di hari kiamat, maka Nabi,
Berbangga dengan banyaknya umatnya dari semua para Nabi. Karena siapa yang umatnya lebih banyak maka pahalanya lebih banyak dan bagi beliau mendapat seperti pahala orang yang mengikutinya sampai hari kiamat. Inilah tujuan yang besar dari pernikahan. Berfirman Allah Sub,hanahu wa Ta�ala (yang artinya) :

�Dan Dia (Allah) telah menjadikan bagimu dari istri-istrimu itu, anak-anak dan cucu-cucu�.
(Q.S An-Nahl-72)

Al-Hafadah (jama' dari hafid artinya cucu; yang dimaksud dalam ayat ini adalah anaknya anak dan anak-anak keturunan mereka.

Maka manusia dengan fitrah yang Allah berikan padanya dijadikan rnencintai anak-anak karena Allah menghiasi manusia dengan cinta pada anak-anak. Allah Subhanahu Wa Ta�ala berfirman (yang artinya) :

"Dijadikan indah pada (pandangan ) manusia, kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu ; wanita-wanita, anak-anak,��(Q.S Ali-Imran -14)

Manusia memiliki naluri cinta pada anak-anak, karenanya Allah Subhanahu waTa�ala jadikan anak-anak sebagai perhiasan kehidupan dunia. Berfirman Allah (yang artinya):

�Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.�

Namun karena terlalu cintanya pada anak-anaknya, kadang-kadang bisa menjerumuskan ke dalam fitnah, sehingga dia bermaksiat pada Allah dengan sebab anak-anaknya. Allah berfirman (yang artinya):

Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu) dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.
(Q.S At-Taghabun : 15)

Dan bila telah keterlaluan fitnah anak pada manusia, maka bisa mendorong pada perbuatan haram, seperti usaha yang Haram untuk menafkahi mereka, atau meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan jihad di jalan Allah, karena takut kalau meninggalkan anak. Maka anak dalam hal ini sama kedudukannya dengan musuh, sehingga wajib berhati-hati dari keterikatan pada mereka. Dan ini adalah makna dari firman Allah Ta'ala (yang artinya) :

�Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isteri dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.�
(Q.S At-Taghabun:14)

Telah ada dalam sebab Nuzul ayat ini apa yang diriwayatkan Imam Tirmidzi dan Hakim dan lainnya dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu �anhuma berkata :

�Telah turun ayat ini (At-Taghabun-14) tentang suatu kaum dari ahli Makkah, mereka telah masuk Islam, lalu istri-istri mereka dan anak-anak mereka menolak ajakan mereka.
Maka ketika mereka datang pada Rasulullah Shalallahu�alaihi Wassallam di Madinah, mereka melihat orang-orang yang mendahului mereka dengan hijrah. Sungguh mereka telah pandai-pandai dalam urusan agama, maka mereka ingin menghukum istri-istri dan anak-anak mereka, lalu Allah turunkan pada mereka ayat :


"Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Penyayang�
(Q.S At-Taghabun : 14)

Maksud Kedua : "Menjaga Diri dari yang Haram"

Tidak diragukan lagi bahwa yang terpenting dari tujuan nikah ialah memelihara dari perbuatan zina dan semua perbuatan-perbuatan keji, serta tidak semata-mata memenuhi syahwat saja. Memang bahwa memenuhi syahwat itu merupakan sebab untuk bisa menjaga diri, akan tetapi tidaklah akan terwujud iffah (penjagaan) itu kecuali dengan tujuan dan niat. Maka tidak benar memisahkan dua perkara yang satu dengan lainnya, karena manusia bila mengarahkan semua keinginannya untuk memenuhi syahwatnya dengan menyandarkan pada pemuasan nafsu atau jima' yang berulang-ulang dan tidak ada niat memelihara diri dari zina, maka dimanakah perbedaannya antara manusia dengan binatang ?

Oleh karena itu, maka harus ada bagi laki-laki dan perempuan tujuan mulia dari perbuatan bersenang-senang yang mereka lakukan itu, yaitu tujuannya memenuhi syahwat dengan cara yang halal agar hajat mereka terpenuhi, dapat memelihara diri, dan berpaling dari yang haram. Inilah yang ditunjukkan oleh Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam . Sungguh diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu �anhu berkata : telah berkata Rasulullah .:

�Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian yang mampu maka nikahlah, karena sesungguhnya itu dapat menundukan pandangan dan memelihara kemaluan, maka barang siapa yang tidak mampu hendaknya dia berpuasa, karena sesungguhnya itu benteng
baginya.�

Al- Wijaa', adalah satu jenis pengebirian, yaitu dengan mengosongkan saluran mani yang menghubungkan antara testis_dan dzakar. Dan makna hadits ini adalah : Barang siapa yang mampu di antara kamu wahai pemuda untuk berjima' dan telah mampu untuk memikul beban-beban pernikahan dan amanahnya, maka nikahlah. Karena nikah itu akan menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Jika tidak mampu hendaknya dia berpuasa, karena puasa itu akan menghancurkan kekuatan gejolak syahwat, bagai pengebirian pada binatang buas untuk menghilangkan syahwatnya.

Maka jelaslah dari hadits ini bahwa Nabi salallahu 'alaihi wasallam memberikan pada pernikahan itu dua perkara yang membantu pada kedua mempelai, yaitu pertama menundukan pandangan dari pandangan-pandangan yang diharamkan Allah Ta'ala dari para wanita, kedua memelihara kemaluan dari "zina" dan semua perbuatan-perbuatan keji. Sehubungan dengan makna ini telah ada hadits yang mulia yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu �anhuma berkata :"Aku mendengar Rasulullah bersabda :

"Apabila seseorang diantara kamu terkagum-kagum pada wanita lalu terkesan atau terjatuh dalam hati; maka hendaklah segera menemui isterinya lalu penuhilah hasratnya dengan isterinya, karena sesungguhnya itu akan menolak apa yang ada dihatinya atau jiwanya.�

Adapun orang-orang yang telah menikah dan semua keinginannya dari
pernikahan adalah syahwat dan jima' semata, maka mereka tidak bertambah dengan jima' tersebut kecuali tambah syahwat, dan dia tidak cukup dengan isterinya yang halal. Bahkan dia akan berpaling pada yang haram.
»»  read more

Tinjauan Fiqih Pernikahan Dini

Prinsip dasar dalam Syariat Islam mengenai perbuatan-perbuatan seorang mukallaf, dirumuskan dalam kaidah syara’: Al ashlu fi al af’al at taqayyudu bi al hukmi asy syar’i. ‘Hukum asal dalam perbuatan-perbuatan (mukallaf) adalah terikat dengan hukum syara’ (Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Juz III, hal. 19).

Jadi perbuatan seorang muslim pasti mempunyai status hukum syara’, tidak terlepas atau terbebas dari ketentuan hukum-hukum Allah, apa pun juga perbuatan itu. Maka dari itu, seorang muslim wajib mengetahui hukum syara’ akan suatu perbuatan, sebelum dia melakukan perbuatan itu, apakah perbuatan itu wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram. Jika dia tidak mengetahui hukumnya, wajib baginya bertanya kepada orang-orang yang berilmu. Firman Allah SWT :

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (TQS An Nahl : 43)

Dengan demikian, seorang muslim wajib mengetahui hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan yang dilakukannya. Jika perbuatan itu berkaitan dengan aktivitasnya sehari-hari, atau akan segera dia laksanakan, hukumnya fardhu ‘ain untuk mempelajari dan mengetahui hukum-hukumnya.Misalnya seorang dokter, maka dia wajib ‘ain untuk mengetahui hukum pengobatan, definisi hidup atau mati, otopsi, dan sebagainya. Seorang pedagang, wajib ‘ain untuk mengetahui hukum jual beli, sewa menyewa, hutang piutang, dan sebagainya. Seorang muslim yang akan menikah, wajib ‘ain baginya untuk mengetahui hukum-hukum seperti hukum khitbah, akad nikah, nafkah, hak-kewajiban suami isteri, thalaq, ruju’, dan sebaginya.

Adapun jika perbuatan itu tidak berkaitan dengan aktivitasnya sehari-hari, atau baru akan diamalkan di kemudian hari, hukumnya fardhu kifayah mengetahui hukum-hukumnya (Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Juz II, hal. 5-6). Misalkan seorang muslim yang mempelajari hukum-hukum jihad untuk diamalkan pada suatu saat nanti (tidak segera), maka hukumnya adalah fardhu kifayah. Demikian pula muslim yang belum akan segera melaksanakan haji, fardhu kifayah baginya untuk mempelajari hukum-hukum seputar ibadah haji. Termasuk hukum fardhu kifayah, adalah menguasai ilmu-ilmu keislaman sampai pada tingkat ahli (expert), misalnya menjadi ahli tafsir, ahli hadits, ahli ijtihad (mujtahid) dan sebagainya (Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Juz II, hal. 6).

Mempelajari hukum-hukum nikah hukumnya adalah fardhu bagi setiap muslim. Fardhu kifayah bagi mereka yang akan melaksanakannya di kemudian hari, dan fardhu ‘ain bagi yang akan bersegera melaksanakannya dalam waktu dekat.

Hukum Menikah dan Menikah Dini
Menikah hukum asalnya adalah sunnah (mandub) sesuai firman Allah SWT :

“Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka (kawinilah) satu orang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.” (TQS An Nisaa` : 3)

Perintah untuk menikah dalam ayat di atas merupakan tuntutan untukmelakukan nikah (thalab al fi’il). Namun tuntutan tersebut tidak bersifat pasti/keharusan (ghairu jazim) karena adanya kebolehan memilih antara kawin dan pemilikan budak (milku al yamin). Maka tuntutan tersebut merupakan tuntutan yang tidak mengandung keharusan (thalab ghair jazim) atau berhukum sunnah, tidak wajib.

Namun hukum asal sunnah ini dapat berubah menjadi hukum lain, misalnya wajib atau haram, tergantung keadaan orang yang melaksanakan hukum nikah. Jika seseorang tidak dapat menjaga kesucian (‘iffah) dan akhlaknya kecuali dengan menikah, maka menikah menjadi wajib baginya. Sebab, menjaga kesucian (‘iffah) dan akhlak adalah wajib atas setiap muslim, dan jika ini tak dapat terwujud kecuali dengan menikah, maka menikah menjadi wajib baginya, sesuai kaidah syara’:

Ma la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib

“Jika suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib juga hukumnya.” (Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Juz III, hal. 36-37)

Dapat juga pernikahan menjadi haram, jika menjadi perantaraan kepada yang haram, seperti pernikahan untuk menyakiti isteri, atau pernikahan yang akan membahayakan agama isteri/suami. Kaidah syara’ menyatakan :

Al wasilah ila al haram muharramah

“Segala perantaraan kepada yang haram hukumya haram.” (Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Muqaddimah Ad Dustur, hal. 86)

Adapun menikah dini, yaitu menikah dalam usia remaja atau muda, bukan usia tua, hukumnya menurut syara’ adalah sunnah (mandub). (Taqiyuddin an Nabhani, 1990, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam). Sabda Nabi Muhammad SAW :

“Wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu, hendaknya kawin, sebab kawin itu akan lebih menundukkan pandangan dan akan lebih menjaga kemaluan. Kalau belum mampu, hendaknya berpuasa, sebab puasa akan menjadi perisai bagimu.” (HR. Bukhari dan Muslim) (HSA Al Hamdani, 1989, Risalah Nikah, hal. 18)

Hadits tersebut mengandung seruan untuk menikah bagi “para pemuda” (asy syabab), bukan orang dewasa (ar rijal) atau orang tua (asy syuyukh). Hanya saja seruan itu tidak disertai indikasi (qarinah) ke arah hukum wajib, maka seruan itu adalah seruan yang tidak bersifat harus (thalab ghairu jazim), alias mandub (sunnah).

Pengertian pemuda (syab, jamaknya syabab) menurut Ibrahim Anis et. al (1972) dalam kamus Al Mu’jam Al Wasith hal. 470 adalah orang yang telah mencapai usia baligh tapi belum mencapai usia dewasa (sinn al rujuulah). Sedang yang dimaksud kedewasaan (ar rujulah) adalah “kamal ash shifat al mumayyizah li ar rajul” yaitu sempurnanya sifat-sifat yang khusus/spesifik bagi seorang laki-laki (Ibid, hal. 332).

Hukum Yang Bertalian dengan Menikah Dini
Menikah dini hakikatnya adalah menikah juga, hanya saja dilakukan oleh mereka yang masih muda dan segar, seperti mahasiswa atau mahasiswi yang masih kuliah. Maka dari itu hukum yang berkaitan dengan nikah dini ada yang secara umum harus ada pada semua pernikahan, namun ada pula hukum yang memang khusus yang bertolak dari kondisi khusus, seperti kondisi mahasiswa yang masih kuliah yang mungkin belum mampu memberi nafkah.

Hukum umum tersebut yang terpenting adalah kewajiban memenuhi syarat-syarat sebagai persiapan sebuah pernikahan. Kesiapan nikah dalam tinjaun fiqih paling tidak diukur dengan 3 (tiga) hal :

Pertama, kesiapan ilmu, yaitu kesiapan pemahaman hukum-hukum fiqih yang berkaitan dengan urusan pernikahan, baik hukum sebelum menikah, seperti hukum khitbah (melamar), pada saat nikah, seperti syarat dan rukun aqad nikah, maupun sesudah nikah, seperti hukum nafkah, thalak, dan ruju`. Syarat pertama ini didasarkan pada prinsip bahwa fardhu ain hukumnya bagi seorang muslim mengetahui hukum-hukum perbuatan yang sehari-hari dilakukannya atau yang akan segera dilaksanakannya.

Kedua, kesiapan materi/harta. Yang dimaksud harta di sini ada dua macam, yaitu harta sebagai mahar (mas kawin) (lihat QS An Nisaa` : 4) dan harta sebagai nafkah suami kepada isterinya untuk memenuhi kebutuhan pokok/primer (al hajat al asasiyah) bagi isteri yang berupa sandang, pangan, dan papan (lihat QS Al Baqarah : 233, dan Ath Thalaq : 6). Mengenai mahar, sebenarnya tidak mutlak harus berupa harta secara materiil, namun bisa juga berupa manfaat, yang diberikan suami kepada isterinya, misalnya suami mengajarkan suatu ilmu kepada isterinya. Adapun kebutuhan primer, wajib diberikan dalam kadar yang layak (bi al ma’ruf) yaitu setara dengan kadar nafkah yang diberikan kepada perempuan lain semisal isteri seseorang dalam sebuah masyarakat (Abdurrahman Al Maliki, 1963, As Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 174-175).

Ketiga, kesiapan fisik/kesehatan khususnya bagi laki-laki, yaitu maksudnya mampu menjalani tugasnya sebagai laki-laki, tidak impoten. Imam Ash Shan’ani dalam kitabnya Subulus Salam juz III hal. 109 menyatakan bahwa al ba`ah dalam hadits anjuran menikah untuk para syabab di atas, maksudnya adalah jima’. Khalifah Umar bin Khaththab pernah memberi tangguh selama satu tahun untuk berobat bagi seorang suami yang impoten (Taqiyuddin An Nabhani, 1990, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam). Ini menunjukkan keharusan kesiapan “fisik” ini sebelum menikah.

Ini adalah kesiapan menikah yang berlaku umum baik untuk yang menikah dini maupun yang tidak dini. Sedang hukum-hukum khusus untuk pernikahan dini dalam konteks pernikahan yang terjadi saat mahasiswa masih kuliah, adalah sebagai berikut :

Hukum Menikah Bagi Mahasiswa, Sedang Dia Masih Dapat Menjaga Dirinya
Mahasiswa yang masih kuliah, berarti mereka sedang menjalani suatu kewajiban, yaitu menuntut ilmu. Sedangkan menikah hukum asalnya adalah tetap sunnah baginya, tidak wajib, selama dia masih dapat memelihara kesucian jiwa dan akhlaqnya, dan tidak sampai terperosok kepada yang haram meskipun tidak menikah. Karena itu, dalam keadaan demikian harus ditetapkan kaidah aulawiyat (prioritas hukum), yaitu yang wajib harus lebih didahulukan daripada yang sunnah. Artinya, kuliah harus lebih diprioritaskan daripada menikah.

Jika tetap ingin menikah, maka hukumnya tetap sunnah, tidak wajib, namun dia dituntut untuk dapat menjalankan dua hukum tersebut (menuntut ilmu dan menikah) dalam waktu bersamaan secara baik, tidak mengabaikan salah satunya, disertai dengan keharusan memenuhi kesiapan menikah seperti diuraikan di atas, yakni kesiapan ilmu, harta, dan fisik.

Hukum Menikah Bagi Mahasiswa, Sedang Dia Tidak Dapat Menjaga Dirinya
Sebagian mahasiswa mungkin tidak dapat menjaga dirinya, yaitu jika tidak segera menikah maka dia akan terjerumus kepada perbuatan maksiat, seperti zina. Maka jika benar-benar dia tidak dapat menghindarkan kemungkinan berbuat dosa kecuali dengan jalan menikah, maka hukum asal menikah yang sunnah telah menjadi wajib baginya, sesuai kaidah syariat :

Ma la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib

“Jika suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib juga hukumnya.”

Hukum menikah yang telah menjadi wajib ini akan bertemu dengan kewajiban lainnya, yaitu menuntut ilmu, sebab kedua kewajiban ini harus dilakukan pada waktu yang sama. Jadi ini memang cukup berat dan sulit. Tapi apa boleh buat, kalau menikah wajib dilaksanakan mahasiswa pada saat kuliah, maka Syariat Islam pun tidak mencegahnya. Hanya saja, hal ini memerlukan keteguhan jiwa (tawakkal), manajemen waktu yang canggih, dan sekaligus mewajibkan mahasiswa tersebut memenuhi syarat-syaratnya, yaitu:

Pertama, kewajiban menuntut ilmu tidak boleh dilalaikan. Sebab, di samping menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim (HR. Ibnu Majah), menuntut ilmu juga merupakan amanat dari orang tua yang wajib dilaksanakan. Syariat Islam telah mewajibkan kita untuk selalu memelihara amanat dengan sebaik-baiknya, dan ingatlah bahwa melalaikan amanat adalah dosa dan ciri seorang munafik. Allah SWT berfirman :

“Dan (orang-orang beriman) adalah orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (TQS Al Mu`minun : 8)

Kedua, kewajiban yang berkaitan dengan kesiapan pernikahan nikah harus diwujudkan, khususnya kesiapan memberikah nafkah. Jika mahasiswa sudah bekerja sehingga mampu memberi nafkah kepada isterinya kelak secara patut dan layak, maka menikah saat kuliah tidak menjadi masalah. Namun perlu diingat, bekerja memerlukan waktu, pikiran, dan tenaga yang tidak sedikit. Perhatikan betul manajemen waktu agar kuliah tidak ngelantur dan terbengkalai. Adapun jika mahasiswa sudah bekerja namun gajinya tidak mencukupi, atau tidak bekerja sama sekali karena tidak memungkinkankarena kesibukan kuliah, maka kewajiban nafkah berpindah kepada ayah mahasiswa. Sebab mahasiswa tersebut berada dalam keadaan tidak mampu secara hukum (‘ajiz hukman), maka dia wajib mendapat nafkah dari orang yang wajib menafkahinya, yaitu ayahnya (Abdurrahman Al Maliki, 1963, As Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 165). Syara’ telah mewajibkan seorang ayah menafkahi anaknya sesuai firman-Nya :

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu secara ma’ruf (layak).” (TQS Al Baqarah : 233)

‘A`isyah meriwayatkan bahwa Hindun pernah berkata kepda Rasulullah,”Wahai Rasulullah, Abu Sufyan (suaminya) adalah seorang lelaki bakhil, dia tidak mencukupi nafkah untukku dan anakku, kecuali aku mengambil hartanya sedang dia tidak tahu.” Nabi SAW bersabda,”Ambillah apa yang mencukupi untukmu dan anakmu secara ma’ruf.” (Abdurrahman Al Maliki, 1963, As Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 166)

Sebenarnya nafkah ayah kepada anak (walad) hanya sampai anak itu baligh, atau sampai anak itu mampu mencari nafkah sendiri. Namun kalau anak itu tidak mampu secara nyata/fisik (‘ajiz fi’lan) seperti cacat, atau tidak mampu secara hukum (‘ajiz hukman) –walaupun sudah baligh atau sudah bekerja tapi tidak cukup— maka sang ayah tetap berkewajiban memberikan nafkah. Jika ayah tidak mampu, maka kewajiban nafkah ini berpindah kepada kerabat-kerabat (al ‘aqarib) atau ahli waris (al warits) si lelaki (mahasiswa) sesuai firman-Nya :

“Dan warispun berkewajiban demikian (yaitu memberikan nafkah).” (TQS Al Baqarah : 233)

Ayat di atas merupakan kelanjutan (‘athaf) dari ayat :

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu secara ma’ruf (layak).” (TQS Al Baqarah : 233)

Karenanya, jika ayah tidak mampu juga memberikan nafkah, maka kewajiban ini berpindah kepada kerabat atau ahli waris mahasiswa. Jika kerabat juga miskin atau tidak mampu, sebenarnya Syariat Islam tetap memberikan jalan keluar, yaitu nafkahnya menjadi tanggung jawab negara (Daulah Khilafah Islamiyah) sebab negara dalam Islam berkewajiban menanggung nafkah orang-orang miskin yang menjadi rakyatnya (Abdurrahman Al Maliki, 1963, As Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 172).

Kewajiban Menjaga Pergaulan Pria-Wanita Untuk Menjaga Kesucian Jiwa (‘Iffah)
Syariat Islam sebenarnya telah secara preventif menetapkan hukum-hukum yang jika dilaksanakan, kesucian jiwa dan akhlaq akan terjaga, dan para pemuda terhindar dari kemungkinan berbuat dosa, seperti pacaran dan zina. Berikut ini beberapa hukum tersebut :

1). Islam telah memerintahkan baik kepada laki-laki maupun wanita agar menundukkan pandangannya serta memelihara kemaluannya, dengan firman Allah SWT :

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman,’Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat’. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemauannya.” (TQS An-Nur:30-31)

2). Islam telah memerintahkan kaum laki-laki maupun kaum wanita agar menjauhi perkara-perkara yang syubhat, dan menganjurkan sikap hati-hati agar tidak tergelincir dalam perbuatan ma’siyat kepada Allah, serta menjauhkan diri dari pekerjaan, atau tempat apa pun tidak berbaur dengan kondisi dan situasi apapun yang di dalamnya terdapat syubhat, supaya mereka tidak terjerembab dalam perbuatan yang haram. Rasulullah SAW bersabda :

“Sesungguhnya yang halal telah jelas, begitu pula yang haram telah jelas; dan diantara dua perkara itu terdapat syubhat yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barang siapa berhati-hati dengan tindakan syubhat sesungguhnya ia telah menjaga agama dan dirinya, dan barang siapa yang melakukan tindakan syubhat, maka ia telah melakukan tindakan yang haram, sebagaimana halnya seorang penggembala yang menggembalakan kembingnya di seputar pagar, kadang-kadang bisa jatuh melewati pagar itu. Ketahuilah sesungguhnya setiap penguasa memiliki pagar pembatas, dan sesungguhnya pagar (batas) Allah adalah apa yang diharamkannya.” (HR. Bukhari)

3). Bagi mereka yang tidak mungkin melakukan pernikahan disebabkan oleh keadaan tertentu, hendaknya memiliki sifat ‘iffah, dan mampu mengendalikan nafsu. Allah SWT berfirman :

“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya sehingga Allah memberikan kepada mereka kemampuan dengan karunia-Nya.” (TQS. An Nur : 33)

4). Islam melarang kaum laki-laki dan wanita satu sama lain melakukan khalwat. Yang dimaksud dengan khalwat adalah berkumpulnya seorang laki-laki dan seorang wanita di suatu tempat yang tidak memberikan kemungkinan seorang pun untuk masuk tempat itu kecuali dengan izin kedua orang tadi, seperti misalnya berkumpul di rumah, atau tempat yang sunyi yang jauh dari jalan dan orang-orang. Sabda Nabi SAW :

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah jangan melakukan khalwat dengan seorang wanita yang tidak disertai mahram, karena sesungguhnya yang ketiga itu adalah syaithan.”

5). Islam melarang kaum wanita melakukan tabarruj, sebagaimana firman Allah :

“Dan perempuan-perempuan tua yang telah berhenti (dari haidh dan mengandung) yang tidak ingin kawin lagi, tidaklah dosa atas mereka menanggalkan pakaian mereka dengan tidak bermaksud menampakkan perhiasannya (bertabarruj).” (TQS. An-Nur : 60)

6). Islam memerintahkan kepada kaum wanita untuk mengenakan pakaian sempurna, yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya; dan hendaknya mereka mengulurkan pakaiannya sehingga mereka dapat menutupi tubuhnya. Allah SWT berfirman:

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung (khimar) ke dadanya.” (TQS An Nuur: 31)

“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (TQS Al Ahzab: 59)

7. Islam melarang seorang wanita melakukan safar (perjalanan) dari suatu tempat ke tempat lain selama perjalanan sehari semalam, kecuali apabila disertai dengan mahramnya. Rasulullah SAW bersabda:

“Tidak dibolehkan seorang wanita yang beriman kepada Allah SWT dan Hari Akhir melakukan perjalanan selama sehari semalam kecuali bila disertai mahramnya.”

8. Islam sangat menjaga agar dalam kehidupan khusus hendaknya jamaah kaum wanita terpisah (infishal) dari jamaah kaum pria, begitu juga di dalam masjid, di sekolah dan lain sebagainya. Islam telah menetapkan seorang wanita hendaknya hidup di tengah tengah kaum wanita, sama halnya dengan seorang pria hendaknya hidup di tengah tengah kaum pria. Islam menjadikan shaf shalat kaum wanita di bagian belakang dari shaf shalat kaum pria, dan menjadikan kehidupan wanita hanya bersama dengan para wanita atau mahram-mahramnya. Wanita dapat melakukan aktivitas yang bersifat umum seperti jual beli dan sebagainya, tetapi begitu selesai hendaknya segera kembali hidup bersama kaum wanita atau mahram-mahramnya.

9). Islam sangat menjaga agar hubungan kerjasama antara pria dan wanita hendaknya bersifat umum dalam urusan muamalah, bukan hubungan yang bersifat khusus seperti saling mengunjungi antara wanita dengan pria yang bukan mahramnya, atau jalan jalan bersama. Sebab, tujuan kerjasama dalam hal ini agar wanita dapat segera mendapatkan apa yang menjadi hak-haknya dan kemaslahatannya, di samping untuk melaksanakan apa yang menjadi kewajiban-kewajibannya.

Kesimpulan
Dari seluruh uraian sebelumnya dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :

1. Pertama, Setiap muslim wajib terikat dengan hukum syara’ dalam setiap perbuatannya, termasuk dalam hal menikah dini.
2. Kedua, Menikah dan juga menikah dini adalah sunnah.
3. Ketiga, Menikah dini sunnah bagi mahasiswa yang masih dapat mengendalikan diri.
4. Keempat, Menikah dini wajib bagi mahasiswa yang tidak dapat lagi mengendalikan diri.
5. Kelima, Menikah dini dalam dua keadaan tersebut mensyaratakan adanya kesiapan ilmu, harta (nafkah), dan fisik, di samping mensyaratkan tetap adanya kemampuan melaksanakan kewajiban kuliah (menuntut ilmu).
6. Keenam, Islam telah menetapkan hukum-hukum preventif agar para pemuda dan pemudi terhindar dari rangsangan dan godaan untuk berbuat maksiat.

[Muhammad Shiddiq Al Jawi]
* Disampaikan dalam Seminar Setengah Hari bertema “Pernikahan Dini”, di STTL YLH, Yogyakarta, Ahad, 23 September 2001





Sumber : www.gaulislam.com
»»  read more

Monday, December 5, 2011

Meluruskan Keliruan Makmum Sholat

oleh Al Ustadz `Aunur Rofiq bin Ghufron

Landasan amal ibadah yang diterima oleh Allah ialah apabila pelakunya muslim, hatinya ikhlas beramal karena Allah dan amatnya sesuai dengan sunnah Rasulullah. Betapapun ikhlas niatnya karena Allah, tetapi jika amatnya tidak ada tuntunan dari sunnah maka amalnya sia-sia. Sebaliknya, sekalipun amalan itu benar menurut sunnah lagi banyak jumlahnya, tetapi jika hatinya riya’ maka ditolak.

Adapun alasan orang yang mengatakan bahwa amal ibadah tetap diterima selagi tidak ada larangan. Ini adalah kaidahnya orang yang tidak mengerti sunnah sehagaimana yang dilakukan oleh ahli bid’ah. Kaidah ini bertentangan dengan sabda Nabi: Barang siapa beramal suatu amalan yang tidak ada petunjuk dari kami, maka amalan itu ditolak. (HR. Muslim: 1718).



Dan bertentangan pula dengan kaidah yang berhubungan dengan shalat, Nabi bersabda: Shalatkah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat. (HR. Bukhari: 631).



Maknanya, shalat tidak menerima tambahan atau pengurangan dengan alasan apapun.

Pada beberapa waktu yang lalu telah dimuat pembahasan "Meluruskan Kekeliruan Imam". Insya Allah kesempatan ini akan dihahas pula pembahasan "Meluruskan Kekeliruan Makmum" agar shalat kita selaku imam atau makmum benar-benar didasari sunnah dan diterima oleh Allah. Adapun dasar dan kaidah untuk pembahasan ini berpijak kepada kaidah diatas, dengan mengambil fatwa dari kalangan ahli hadits, ahli tafsir dan ahli fiqih yang mu’tahar (diakui).



Kekeliruan yang kami maksudkan dalam pembahasan ini, boleh jadi karena dalil nash yang melarangnya, atau karena memang tidak ada contoh dari sunnah. Selain itu, kekeliruan yang kami bahas ini bukan hanya berhuhungan dengan makmum saja, sekalipun ini yang banyak kami ulas, tetapi meliputi kekeliruan imam dan lainnya untuk melengkapi kekurangan pembahasan yang lalu.



Bagian Pertama: Kekeliruan Makmum



1. Melantunkan ‘pujian’ setelah adzan

Kita jumpai sebagian masjid tatkala mu’adzin selesai adzan mereka mengadakan pujian atau membaca anasyid bersama-sama, bahkan dengan suara yang keras. Amalan ini tidak ada tuntunannya dari Nabi atau sahabatnya.



Dalilnya, dari Anas bin Malik, Rasulullah berkata kepada seorang arab Badui yang kencing di masjid: Sesungguhnya masjid ini tidak dibenarkan sedikitpun untuk kencing, dan tidak boleh untuk sesuatu yang najis. Tetapi untuk dzikir kepada Allah & shalat dan membaca Al-Quran. (HR. Muslim no 285).



Lembaga Ulama Saudi Arabia menjawab pertanyaan bolehkah melantunkan anasyid (pujian-pujian (seperti lagu lagu dan semisalnya -red ) di masjid: "Tidak dibolehkan melantunkan anasyid, pujian dan semisalnya di masjid, karena masjid diperuntukkan untuk shalat, berdzikir kepada Allah, bertasbih, bertahmid, bertahlil, bertakbir dm memhaca Al-Qur’an, mengajar dan memheri fatwa". (Lihat Fatwa Allajnah Ad Daimah 6/304)



2. Menanti shalat dengan obrolan atau sendagurau

Lembaga Ulama Saudi Arabia ditanya: "Banyak kitajumpai sebagian orang setelah shalat Maghrib mereka tidak segera pulang, mereka menanti shalat Isya’. Namun di tengah penantian ini mereka ngobrol, berbincang-bincang masalah dunia,bahkan kadang kala mengambil radio untuk mendengarkan warta berita, bolehkah perbuatan ini?"



Mereka menjawab: "Tidak boleh. Berdasarkan surat An-Nur 36-38 bahwa masjid diperuntukkan untuk dzikir, shalat, membaca Al-Quran dan menyampaikan ilmu dinul Islam". (Lihat Fatawa Allajnah Ad Daimah: 6/279)



3. Keluar dari masjid setelah adzan

Terhitung perbuatan maksiat bila keluar dari masjid setelah adzan tanpa ada keperluan yang sangat penting seperti berwudlu atau ke WC dan semisalnya. Dalilnya: Dari Abu Sya’sa’ dia berkata: Kami pernah duduk di masjid bersama Abu Hurairah. Ketika muadzin selesai adzan, ada seorang laki-laki bangun be jalan, lalu sahabat Abu Hurairah terus memandangnya sehingga orang itu keluar dari masjid. lalu Abu Hurairah berkata: "Orang itu telah bermaksiat kepada Abul Qasim.". (HR. Muslim no 665)



4. Meninggalkan shalat tahiyatal masjid

Menurut sunnah, apabila seseorang masuk masjid sebelum imam hadir, hendaknya tidak segera duduk. Tetapi menjalankan shalat dua rakaat terlebih dahulu, yaitu shalat tahiyatal masjid. Dalilnya, dari Abu Qatadah As-Sulami sesungguhnya Rasulullah bersabda: Apabila salah seorang di antara kamu masuk masjid, hendaklah shalat dua rakaat sebelum ia duduk. (HR. Bukhari: 444; Muslim: 714)



5. Menjalankan shalat sunnah tanpa sutrah.

Banyak kita saksikan ketika makmum menjalankan shalat sunnah tahiyatal masjid atau sunnah qabliyah dan ba’diyah tanpa memperhatikan sutrah atau tabir di depannya. Mereka shalat di tengah atau di betakang tanpa mencari pembatas. Perbuatan ini keliru dan menyelisihi sunnah Rasulullah, sebab sutrah atau tabir untuk orang yang shalat hukumnya wajib. Dalilnya, dari Musa bin Thalhah dari Ayahnya ia berkata: Rasulullah bersabda: Apabila salah seorang dari kalian telah meletakkan semisal ujung pelana di depannya, maka shalatlah. Dan tak usah memperdulikan orang yang lewat di belakang sutrah tersebut. (HR. Muslim)

Sabda Nabi (maka shalatlah), menunjukkan bahwa shalat dapat dimulai bila di depannya sudah ada sutrah.



Dan Abu Said AI-Khudri ia berkata: Rasulullah bersabda: Apabila salah seorang di antara kamu akan menjalankan shalat, hendaklah menghadap kepada sutrah (tabir) dan dekatlah dengannya. (HR. Abu Dawud 648 dishahihkan oleh Ibn Baz. Lihat Majmu Fatawa 4/264)



Fungsi sutrah merupakan pembatas bagi orang yang ingin lewat di depannya. Diperbolehkan berlalu di luar sutrah dan dilarang melatui bagian dalamnya (antara sutrah dan orang yang shalat). Dalilnya, Abu Said berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: Apabila salah seorang di antara kamu telah menghadap sutrah ketika akan shalat, lalu ada yang mau lewat di depannya (antara dia dan sutrah), hendaknya ia mendorong lehernya. Jika enggan, maka perangi dia, karena dia itu setan. (HR. Bukhari: 509; Muslim: 505)

Memahami hadits di atas, berarti orang yang shalat tanpa sutrah di depannya, tidak berhak menghalangi orang yang lewat di depannya. Orang yang menjalankan shalat hendaknya dekat dengan sutrah. Dalilnya, dari Sahl bin Abi Hatsmah, Nabi bersabda:



Apabila salah satu di antara kamu mengerjakan shalat menghadap kepada sutrah, hendaklah ia dekat dengan sutrahnya, maka setan tidaklah mampu menggodanya. (HR. Abu Dawud. Albani berkata: Imam Hakim menshahihkannya, Imam Adz-Dzahabi dan Imam Nawawi menyetujuinya) Adapun jarak antara tempat sujud dengan sutrah semisal berlalunya kambing: Dan Sahl bin Sa’ad ia berkata:



(Jarak) antara tempat sujud Rasulullah dan tembok semisal tempat berlalunya kambing. (HR. Bukhari, Kitabus Shalat: 496)



Sutrah dapat diperoleh dengan cara :



1. Menghadap dinding.

Dalilnya, Bilal berkata: Lalu Rasulullah shalat sedangkan jarak antara berdiri beliau dengan dinding depan (sejauh) tiga hasta. (HR. Imam Ahmad)

2. Menghadap orang berbaring.

Dalilnya, Aisyah berkata: Sungguh aku pernah melihat Nabi sedang shalat aku berada di antara beliau dan arah kiblat, waktu itu aku berbaring di atas tempat tidur.(HR. Bukhari: 511)

Dalil yang lain, ketika kita shalat berjamaah, maka orang di depan kita adalah sutrah kita, baik mereka dalam keadaan berdiri atau duduk.

3. Menghadap tiang dan semacamnya.

Dalilnya: Dari Anas bin Malik, dia berkata: "Sungguh aku pernah melihat kibar sahabat Nabi bersegera menuju tiang-tiang masjid, ketika masuk waktu shalat Maghrib. (HR. Bukhari: 503)

4. Menghadap benda, semacam ujung pelana

Dalilnya, Aisyah berkata: Rasulullah pernah ditanya tentang tabir di depan orang yang sedang shalat, maka beliau menjawab, "semisal pelana" (HR. Muslim: 500)

Dan lbn Umar, sesungguhnya Rasulullah apabila keluar ingin shalat ied, beliau memerintahkan agar menancapkan semisal ujung tombak di depannya, lalu beliau shalat menghadap tombak tersebut, sedangkan orang-orang berada di belakangnya. Amalan ini beliau kerjakan pulaketika bepergian. (HR. Muslim: 501)

5. Menghadap kendaraan.

Dalilnya: Dari lbn Umar sesungguhnya Nabi menghadapkan ontanya, Lalu beliau shalat menghadap kepadanya. (HR. Muslim: 502)



6. Menunda iqamat karena makmum masih shalat sunnah

Sebagian makmum melarang orang yang akan qamat, karena masih ada orang yang menjalankan shalat sunnah. Tindakan ini keliru, sebab qamat disyari’atkan ketika imam telah datang. Dalilnya, dari Abu Qatadah dari Ayahnya ia berkata: Rasulullah bersabda: Apabila telah qamat, janganlah kamu berdiri sehingga engkau melihatku, dan engkau wajib mendatanginya dengan tenang. (HR. Bukhari : 638)





7. Bercakap-cakap setelah iqamat

Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: "Berbicara setelah qamat dan sebelum takbiratul ihram apabila berhubungan dengan shalat seperti meluruskan shaf dan semisalnya hukumnya sunnah, tetapi bila tidak ada hubungannya dengan shalat hendaknya ditinggalkan, karena kita sedang persiapan untuk menjalankan shalat." (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz : 4/179)



8. Berjalan tergesa-gesa

Makmum hendaknya tidak berjalan tergesa-gesa atau bahkan berlari untuk menuju ke masjid karena khawatir ketinggalan shalat (masbuk), tetapi hendaknya berjalan dengan tenang. Dalilnya, dari Abu Hurairah dari Nabi beliau bersabda: Apabila kamu mendengarkan iqamat, hendaklah bejalan untuk shalat, dan wajib bagimu mendatanginya dengan tenang dan janganlah lari terburu-buru, maka apa yang kamu jumpai bersama imam kerjakan, dan yang kurang, sempurnakan. (HR. Bukhari : 636)



9. Melanjutkan shalat sunnah setelah iqamat

Ketika makmum melihat imam telah bertakbiratul ihram, hendaklah menghentikan shalat sunnahnya untuk segera mengikuti shalat berjamaah. Dalilnya: Dari Abu Buhainah ia berkata: Ketika shalat subuh akan dimulai, Rasulullah melihat seorang laki-laki sedang melanjutkan shalat (sunnahnya) padahal muadzin sedang qamat, Lalu beliau berkata kepadanya: "Apakah kamu ingin shalat Shubuh empat rakaat? "(HR. Muslim : 711)

Dari Abu Hurairah dari Nabi sesungguhnya beliau bersabda: Apabila iqamat telah dikumandangkan, maka tidak diperkenankan shalat kecuali shalat wajib.



10. Enggan memilih shaf pertama

Termasuk kebiasaan yang keliru, ketika makmum mendengar qamat, tidak segera mengisi shaf yang pertama, tetapi mencari shaf di belakang, padahal shaf pertama lebih utama daripada shaf berikutnya. Dalilnya, dari Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah bersabda: Andaikan manusia mengetahui betapa besar pahala orang yang menjawab adzan dan shaf yang pertama, lalu ia tidak memperolehnya melainkan harus mengikuti undian, tentu akan mengikutinya. (HR. Bukhari: 721, Muslim: 437)



11. Tidak merapatkan shaf

Sering kita jumpai makmum ketika menjalankan shalat berjamaah, mereka tidak memperhatikan kerapian shaf, tidak meluruskan dan tidak merapatkannya. Padahal shaf yang kurang rapat akan mengganggu ketenangan shalat.

Dalilnya, sesungguhnya An-Nu’man bin Basyir berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda: Sungguh engkau mau meluruskan shafmu atau Allah akan menaruh permusuhan dan kemarahan di hatimu. (HR. Muslim: 436)

Imam Bukhari berkata: "Bab hendaknya pundak menyentuh pundak, kaki menyentuh dengan kaki di dalam pengaturan shaf". An-Nu’man bin Basyir berkata: "Kami melihat salah satu di antara kami menyentuhkan pundaknya dengan pundak temannya." (Lihat Shahih Bukhari Kitab Shalat)



12. Memulai shaf dari kanan atau dari kiri

Sering kita melihat seseorang ketika masuk masjid dan mendapatkan shaf di depannya sudah penuh, dia memulai shaf baru dari ujung kanan atau kiri, padahal menurut sunnah hendaknya memulai dari belakang imam.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: "Shaf hendaknya dimulai dari tengah di belakang imam. Sedangkan sesudah itu, shaf sebelah kanan lebih utama dari pada sebelah kiri, berdasarkan hadits yang shahih". (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz: 4/416)

Lembaga Ulama Saudi Arabia berfatwa: "Penyusunan shaf adalah dimulai di belakang imam, selanjutnya memanjang ke kanan dan ke kiri, bukan dimulai dari ujung kanan. Demikian pula shaf berikumya". (Lihat Fatawa Islamiyah 1/358)



13. Membuat shaf sebelum di depannya penuh

Sering kita jumpai makmum menyusun shaf baru padahal shaf di depannya belum penuh, perbuatan ini menyelisihi sunnah. Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: "Dilarang membuat shaf baru sebelum shaf di depannya penuh, dan tidak mengapa mereka mengambil shaf bagian kanan lebih banyak daripada shaf sebelah kiri, dan tidak harus ada keseimbangan. "(Majmu’ Fatawa Ibnu Baz: 4/416)



14. Shalat sendirian di samping kanan belakang imam

Jika makmum laki-laki hanya orang, maka letak shafnya bukan di samping kanan belakang imam sebagaimana menurut kebiasaan yang dilakukan pada umumnya, tetapi di sebelah kanan imam lurus bersamanya. Dalilnya:

Dari Ibn Abbas sesungguhnya ia berkata: Saya tidur di rumah Maimunah istri Nabi, waktu itu Rasulullah tiba gilirannya bermalam di rumahnya, lalu Rasulullah berwudlu, lalu berdiri untuk melaksanakan shalat (malam). Aku berdiri di samping kiri beliau, lalu beliau menarikku menjadikanku di sebelah kanannya. (HR. Bukhari: 697; Muslim: 763)



15. Shalat sendirian di balakang shaf

Makmum dilarang membuat shaf sendirian selagi shaf di depannya belum penuh. Dalilnya, dari Wabishah bin Ma’bad: Nabi melihat seseorang shalat sendirian di belakang shaf. Kemudian memerintahkannya untuk mengulanginya. (HR. Abu Dawud dishahihkan oleh Al-Albani dalam Irwa’ no.541. )



16. Memilih shaf yang terputus

Shaf makmum dalam satu baris hendaknya bersambung dengan makmum yang lain, tidak terpisah oleh tiang atau tembok. Kecuali dalam keadaan darurat karena masjid sangat sempit, sehingga terpaksa harus shalat di tempat yang ada. Sahabat Ibnu Mas’ud berkata: "Janganlah kamu menyusun shaf di antara tiang-tiang". Para ahli ilmu seperti Imam Ahmad dan Ishaq membenci barisan shaf antara tiang-tiang. (Lihat kitab AI-Qaulul Mubin Fi Akhthail Mushallin hat. 231 oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman.)



17. Mengeraskan bacaan takbir

Kadang kala kita menjumpai sebagian makmum tatkala imam membaca takbir, makmum pun bertakbir dengan suara yang keras. Padahal tidak ada tujuan membantu mengeraskan takbir imam. Perbuatan ini menyelisihi sunnah. Lembaga Ulama Saudi Arabia berfatwa: Imam disyariatkan mengeraskan bacaan semua takbir agar makmum mendengamya, sedangkan makmum menurut sunnah tidak diperintahkan mengeraskan takbiratul ihram atau takbir intiqal (pindah gerakan), tetapi dengan suara cukup didengar sendiri, bahkan mengeraskan takbir bagi makmum termasuk bid’ah. Lalu membawakan hadits: Dari Aisyah ia berkata: Rasulullah bersabda: Barang siapa membuat cara baru di dalam urusan ibadah kami yang tiada contoh dari sunnah, maka ditolak. (HR. Bukhari). (Lihat Fatawa Allajnah Ad Daimah: 6/340)



18. Tidak segera shalat bersama imam

Sering kita jumpai ketika makmum masbuk, melihat imamnya sedang sujud, tidaklah segera bertakbiratul ihram lalu bertakbir untuk sujud bersamanya, tetapi menunggu imam berdiri. Perbuatan ini menyalahi sunnah.

Dalilnya, dari Anas bin Malik, Nabi bersabda: Sesungguhnya imam itu dijadikan panutan, apabila dia bertakbir, bertakbirlah, dan apabila dia sujud sujudlah dan apabila dia bangun, bangunlah ". (HR. Muslim: 414).



19. Mendahului Imam

Mendahului imam termasuk dosa besar dan berat ancamannya. Dari Abu Hurairah ia berkata: Nabi Muhammad bersabda, Apakah tidak takut makmum yang mengangkat kepalanya sebelum imam, apabila Allah merubah kepalanya menjadi kepala keledai. (HR. Muslim) Lembaga Ulama Saudi Arabia berfatwa, Jika makmum sengaja mendahului imam maka shalatnya batal. Tetapi apabila karena lupa, maka segera kembali untuk mengikuti imam. (Lihat Fatawa Lajnah Daimah: 7/326)



20. Tidak membetulkan imam ketika keliru

Makmum hendaklah membetulkan ketika salah membaca ayat atau gerakan, jika salah bacaannya dibetulkan bacaannya. Jika salah gerakannya, hendaklah makmum pria membetulkan dengan membaca subhanallah, sedangkan wanita dengan bertepuk tangan.

Dalilnya, dari Sahl bin Sa’ad, Rasulullah bersabda, Hai manusia, mengapa kalian ketika hendak mengingatkan pada waktu shalat, engkau bertepuk tangan? Sesungguhnya tepuk tangan itu untuk wanita, maka barang siapa menjumpai kesalahan pada waktu shalat, hendaklah mengatakan "Subhanallah". (HR. Bukhari)



21. Shalat qabliyah Jum’ah Makmum usai mendengar adzan pada hari Jum’at, mereka segera bangun untuk menjalankan shalat sunnah qabliyah jum’ah. Perbuatan ini termasuk bid’ah (tidak ada contohnya dari nabi). Syaikh Muhammad Abdus Salam berkata, Tiada satu dalilpun dari sunnah yang menjelaskan anjuran shalat sunnah qabliyah Jum’ah. Adapun pendapat yang membolehkan karena dikiaskan dengan shalat sunnah qabliyah dzuhur, tidak dapat diterima. (Lihat kitab Assunan wal Mubtada’ah Almutaqa’aliqah Bil Adzkar Wash Shalah: 181)

Ibnul Qayim Al Jauziyah berkata, Barang siapa yang mengira, bahwa setelah adzan Jum’at dianjurkan shalat dua raka’at, dia termasuk manusia yang paling tidak mengerti dengan sunnah. (Zadul Ma’ad 1/432)



22. Makmum keluar sebelum Imam berpaling dari kiblat

Makmum hendaknya tidak mendahului imam kelua dari masjid setelah salam, melainkan bila imam telah berpaling dari kiblat. Imampun hendaknya tidak lama-lama menghadap kiblat setelah salam sebagaimana penjelasan kami yang lalu "Meluruskan Kekeliruan Imam".

Dalilnya, dari Ibnu Abbas ia berkata, Pada suatu hari Rasulullah mengimami kami . Setelah salam, beliau menghadap kepada kami lalu bersabda, Wahai manusia, sesungguhnya aku ini imammu, maka janganlah kamu mendahuluiku ketika aku ruku’, sujud, ketika bangun dan jangan pula mendahuluiku ketika keluar. (HR. Muslim) Ibnu Taimiyah berkata, "Hendaknya makmum tidak bangun dari tempat shalatnya sehingga imam berpaling dari arah kiblat. "(Majmu’ Fatawa Ibnu Baz: 22/205)



23. Mengamini do’a imam sambil mengangkat tangan

Sering kita menjumpai sebagain masjid, ketika imam selesai shalat, imam segera mengomando dzikir dan do’a , sedangkan makmum mengikuti dan mengamininya. Perbuatan ini termasuk bid’ah karena tidak ada contohnya.

Lembaga Fatwa Ulama Saudi Arabia berfatwa, Berdo’a dengan mengangkat tangan setelah shalat wajib, dilaksanakan bersama-sama dengan dikomando oleh imam atau sendirian hukumnya bid’ah, karena Nabi dan para shahabat tidak pernah mengamalkannya. Adapun berdo’a setelah shalat tanpa angkat tangan dan tidak dikomandoi oleh imam tidak mengapa, karena ada hadits lain yang membolehkannya. (Fatawa Lajnah Ad-Daimah: 7/103)



24. Imam disambut dengan shalawat Nabi

Tatkala imam bangun meninggalkan tempat shalat, makmum segera menyambutnya (mengantarnya -red) dengan shalawat Nabi dan berjabat tangan. Lembaga Fatwa Saudi Arabia berfatwa: Membaca shalawat Nabi disyari’atkan ketika bertasyahud pada wakti shalat fardhu atau shalat sunnah, dan disyariatkan pula ketika akan berdo’a setiap saat setelah membaca hamdalah dan memuji Allah, karena membaca shalawat nabi merupakan salah satu penyebab dikabulkan do’a. (Fatawa Lajnah Ad-Daimah: 7/120)



25. Melangkahi pundak orang

Karena kesalahan sebagian makmum yang datang pertama, mereka menjalankan shalat sunnah di sembarang tempat, maka terjadilah kekosongan sebagian shaf yang pertama dan berikutnya, sehingga orang yang datang belakangan, mereka melangkahi pundak saudaranya untuk memenuhi shaf yang kosong, sehingga terjadi pelanggaran yang tidak dibenarkan oleh sunnah.

Oleh karena itu hendaknya makmum yang datang pertama tahiyatal masjid dengan mengambil shaf yang paling depan atau mencari tempat yang tidak mengganggun saudaranya yang datang belakangan, agar mereka tidak melangkahi pundak saudaranya

Dalilnya adalah dari Abu Az-Zahiriyah dia berkata, Aku pernah duduk bersana Abdullah bin Busr pada hari Jum’ah, lalu datang seorang laki-laki melangkahi manusia, sedangkan Rasulullah pada waktu itu sedang berkhutbah, lalu beliau bersabda, "Duduklah,sungguh engkau telah mengganggu (karena melangkahi) dan terlambat."(HR. Ahmad dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Albani: 155)



26. Bermakmum kepada Imam ahli syirik

Kita dilarang bermakmum dengan imam ahli syirik seperti Imam yang beristighatsah kepada selain Allah, kita wajib mencari masjid lain yang imamnya Ahlus sunnah, jika tidak menjumpainya kecuali orang yang pernah berbuat maksiat, sebaiknya berjama’ah dengan mereka agar kita lepas dari dosa, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh sebagian sahabat, mereka bermakmum kepada Imam yang zhalim seperti Hajjaj bin Yusuf. Adapun bermakmum kepada orang yang musyrik, hukumnya haram. Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata, Dilarang bermakmum kepada setiap orang musyrik seperti orang yangberistighatsah kepada selain Allah, meminta pertolongan kepada selain-Nya, karena beristighatsah kepada selain Allah seperti beristighatsah kepada orang mati, kepada patung, jin dan selainnya termasuk perbuatan syirik. (Majmu’ Fatawa bin Baz 4/396, 400)



27. Lewat di depan orang yang sedang shalat

Sering kita jumpai sebagian jama’ah berjalan di depan orang yang sedang shalat. Perbuatan ini hukumnya haram, kecuali keluar karena berhadas atau mengantuk. Adapun dalil larangan lewat di depan orang yang sedang shalat yakni, dari Abu Juhaim (Abdullah bin Harits Al Anshari) ia berkata, Rasulullah bersabda, Seandainya orang yang lewat di depan orang yang sedang shalat itu tahu betapa besar dosanya, tentu dia lebih menyukai berdiri selama empat puluh (hari, atau bulan atau tahun) daripada lewat di depan orang yang shalat. (HR. Bukhari).



Adapun dalil wajib keluar bagi orang yang mengantuk ketika shalat, dari ‘Aisyah dia berkata, Rasulullah bersabda, Apabila orang itu mengantuk ketika shalat, hendaknya ia pergi, karena boleh jadi dia mendo’akan dirinya jelek sedang dia tidak merasa. (HR. An Nasa’i dishahihkan oleh Al Albani No. 813)



Adapun dalil wajib keluar bagi yang berhadats ketika shalat, dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah bersabda, Apabila salah satu di antara kamu menjumpai gelembung di dalam perutnya, ragu-ragu, kentut apa tidak, maka janganlah keluar dari masjid sehingga mendengar suara atau menjumpai bau (kentut). (HR. Muslim)



28. Berjabat tangan setelah shalat

Sering kita jumpai setelah shalat sunnah atau wajib Imam dan makmum berjabat tangan dengan tetangga kanan kiri bahkan dengan jama’ah di belakangnya pula. Perbuatan ini jelas mengganggu orang yang sedang berdzikir kepada Allah, lagi pula perbuatan ini menyelisihi sunnah.



Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata, Adapun apa yang diamalkan oleh sebagian manusia, makmum bersegera berjabat tangan dengan imam setelah salam, tidak ada dalilnya. Amalan itu dibenci, karena setelah shalat, dianjurkan berdzikir sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz: 4/262)



Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Salman berkata, Menucapkan salam dan berjabat tangan disyari’atkan ketika orang itu datang dari bepergian dan ketika berpisah sekalipun hanya sebentar, baik di masjid ataupun di luar masjid. (Al Qaulul Mubin Fii Akhtha’il Mushallin, hal. 301 )



29. Usai shalat fardhu langsung mengerjakan shalat sunnah

Sering kita jumpai imam atau makmum ketika selesai menjalankan shalat, langsung berdiri melanjutkan shalat sunnah, amalan ini bertentangan dengan sunnah. Dalilnya, dari Saib bin Yazid bin Ukhti Namir, ia berkata, Saya pernah shalat Jum’at bersama Mu’awiyah. Tatkala aku selesai shalat Jum’at, aku segera bangun untuk menjalankan shalat sunnah. Setelah Mu’awiyah masuk di rumah, beliau mengutus salah seorang untuk memanggilku, lalu Beliau berkata, Jangan kamu ulangi perbuatanmu itu, apabila kamu selesai shalat Jum’ah, janganlah kamu menyambung dengan shalat yang lain sehingga kamu berbicara atau keluar terlebih dahulu. Karena Rasulullah memerintahkan demikian, yaitu hendaknya tidak disambung shalat dengan shalat sehingga kami berbicara atau keluar. (HR. Muslim).



30. Sering Masbuk tanpa udzur

Sebagian makmum ketika mendengar adzan tidak segera berangkat ke masjid, tetapi sering terlambat tanpa udzur. Perbuatan ini menyerupai shalat orang munafiq. Dalilnya, dari Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah bersabda, Dan seandainya mereka mengerti betapa besar pahala orang yang bersegera datang ke masjid (untuk berjama’ah), tentu mereka akan berlomba-lomba mendahuluinya. (HR. Bukhari).



Bagian Kedua : Kekeliruan dalam Shalat Secara Umum.



31. Sering bergerak pada waktu shalat

Kita sering menjumpai makmum ketika shalat, dia memutar-mutar jam tangannya, mempermainkan kancing bajunya, geleng-geleng kepala, banyak bergerak, mengelus-elus jenggot dan atau memintal kumis dan semisalnya. Perbuatan ini dilarang karena akan mengurangi bahkan dapat menghilangkan kekhusyu’an pada waktu shalat, padahal Allah berfirman, Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya. (QS: Al Mukminun: 12)

Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata, Bagi orang yang sedang shalat, hendaknya tidak berbuat sia-sia seperti menggerakkan pakaian, janggut atau yang lain. Bila gerakan ini sering dilakukan, hukumnya haram. Adapun pendapat yang mengatakan apabila gerakan itu dilakukan tiga kali hukumnya batal, pendapat ini lemah dan tidak berdalil. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz: 4/424)



32. Ketika shalat melihat ke atas atau ke sana kemari

Apabila sedang shalat hendaknya pandangan mata menundukkan ketempat sujud, tidak meilhat ke kanan atau ke kiri apabali ke belakang, karena perbuatan itu termasuk godaan syetan.

Dalilnya, ‘Aisyah berkata, Aku pernah bertanya kepada Nabi tentang hukum seorang pria yang menoleh ketika shalat, maka beliau menjawab, "Itu adalah pencurian, syetan sedang mencuri shalat salah satu di antaramu."



Sesungguhnya Anas bin Malik pernah bercerita kepada mereka, bahwa Nabi bersabda, "Mengapa kaum itu tatkala shalat, mereka melihat ke atas." Dia (perawi hadits) berkata: Sunggguh amat keras beliau itu, sehingga beliau bersabda, "Hendaklah kaum itu berhenti, jika tidak mau, akan dicungkil matanya."



33. Menyisingkan pakaian dan rambut.

Ketika shalat dilarang menyisingkan lengan baju atau melipatnya, demikian juga rambut dan baju.



Dalilnya, dari Abdullah bin Abbas sesungguhnya Nabi bersabda, Aku diperintah agar sujud dengan tujuh anggota, yaitu dahi, hidung, dua tangan, dua lutut dan dua kaki, dan aku dilarang menyisingkan rambut dan baju. (HR. Muslim).

Imam Nawawi berkata, Ulama telah bersepakat bahwa ketika shalat dilarang menyinsingkan baju, lengan baju dan semisalnya. (Syarah Muslim 4/209)



34. Sering membersihkan debu di tempat sujud

Pada waktu shalat, kita dianjurkan agar khusyu’ di dalam setiap gerakan. Tidak dibenarkan menggerakkan anggota badan kecuali ada perintah, seperti ruku’, sujud, berdiri, duduk dan sebagainya. Dan diperbolehkan membersihkan sesuatu di tempat sujud ketika shalat sekali saja. Dalilnya, dari Mu’aiqib, sesungguhnya Rasulullah berkata kepada salah seorang yang meratakan tanah ketika sujud, maka beliau bersabda, "Jika kamu harus berbuat itu, maka boleh hanya sekali." (HR. Muslim)



35. Mengusap wajah setelah shalat

Sebagian umat Islam setelah salam lalu mengusap wajah dengan tangan kanan. Perbuatan ini tergolong bid’ah, karena tidak ada tuntunannya dari sunnah. Syaikh Ibnu Baz ketika beliau ditanya hukum mengusap muka setelah salam, beliau menjawab, Tidak ada tuntunannya, tetapi jika mengusap wajah sebelum salam hukumnya makruh. Sebab, Nabi ketika salam pada waktu shalat subuh, pada dahinya terlihat bekas tanah basah, karena pada malam harinya turun hujan. Ini menunjukkan lebih utama tidak mengusap wajahnya sebelum salam. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz: 4/272)



36. Bertasbih dengan memakai alat tasbih

Membaca tasbih, tahmid dan takbir setelah shalat atau sebelumnya dengan memakai alat tasbih termasuk perbuatan yang menyelisihi sunnah. Lembaga Fatwa Ulama Saudi Arabia berfatwa, Berdzikir dan bertasbih dengan tangan itu lebih utama. Kami tidak menjumpai amalan Nabi bahwa beliau bertasbih dengan alat tasbih. Perlu kita maklumi amalan yang paling baik adalah mengikuti sunnah. (Lihat Fatwa Lajnah Ad-Daimah: 7/111)



37. Usai salam membaca tiga ayat surat Ali Imran

Syaikh Muhammad Abdus Salam berkata, Usai salam langsung membaca tiga ayat dari surat Ali Imran khusus setelah selesai shalat Maghrib dan Subuh; kami tidak mengetahui dalilnya dari kutubus sunnah.

[Jika suatu amalan tidak ada dalilnya dari kutubus sunnah (buku-buku hadits / sunnah), maka amalan ini tidak ada contohnya dari Nabi. Dengan kata lain, amalan tersebut termasuk ke dalam bid’ah. -red] (Lihat As-Sunan Wal Mubtada’ah al Muta’aliqah Bil Adzkar Was Shalah: 71)



38. Menambah kalimat istighfar

Kadang kala kita menjumpai imam atau makmum tatkala membaca istighfar yaitu "Astaghfirullah" lalu ditambah dengan "Ya Arhamar raahimiin, irhamnaa" dengan bersama-sama, maka hukumnya bid’ah karena tidak ada contohnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Abdus Salam. (Lihat As-Sunan Wal Mubtada’ah al Muta’aliqah Bil Adzkar Was Shalah: 70



39. Shalat Dzuhur setelah shalat Jum’ah

Mengerjakan shalat Dzuhur setelah menjalankan shalat Jum’ah termasuk perbuatan bid’ah. Syaikh Muhammad Abdus Salam berkata, Sesungguhnya mengerjakan shalat dzuhur setelah shalat jum’ah tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah walaupun hanya sekali dan tidak pula memerintahkannya, tidak pernah dikerjakan oleh sahabat, atau tabi’in walaupun seorang, dan tidak pula pernah dikerjakan oleh madzhab empat (yaitu madzhab Abu Hanifah, Syafi’i, Malik dan Ahmad bin Hambal. –red ), tetapi diada-adakan oleh pengikut Imam Syafi’i mutaakhirin (generasi yang sekarang ini). (Lihat As-Sunan Wal Mubtada’ah al Muta’aliqah Bil Adzkar Was Shalah: 182)



40. Sujud dua kali setelah salam

Kadang kala kita jumpai sebagian orang setelah salam, ia sujud dua kali tanpa sebab. Perbuatan ini menyelisihi sunnah. Imam Abu Syamah dalam kitabnya "Al Ba’its" menerangkan, Sesungguhnya bersujud dua kali setelah shalat adalah perbuatan yang sangat dibenci, karena tidak ada sebab tertentu, dan tidak ada tuntunan dari sunnah. Sujud dilakukan ketika shalat atau sesudahnya apabila lupa atau sujud tilawah usai membaca ayat sajdah. Adapun hukum sujud syukur ulama berbeda pendapat. Imam Syafi’i menyunnahkannya sedangkan Imam Ahmad membolehkannya. (Lihat kitab Islahul Masajid minal Bida’ wal ‘Awaid, oleh Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi: 84)



41. Mengeraskan bacaan tahlil dengan menggelengkan kepala

Berdzikir dan berdo’a dengan menggelengkan kepala termasuk perbuatan bid’ah. Berdzikir dianjurkan agar tenang dengan suara yang lembut. Firman-Nya: Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS Al-A’raf: 55)



42. Keluar masuk masjid tanpa memperhatikan kaki

Imam Bukhari menjelaskan bab "Hendaknya memulai dengan kaki kanan ketika masuk masjid dan lainnya." Ibnu Umar mendahulukan kaki kanan ketika masuk masjid dan keluar dengan mendahulukan kaki kiri. (Shahih Bukhari: Kitab Shalat)

Dari ‘Aisyah ia berkata, Nabi Menyukai mendahulukan yang kanan dari semua urusan menurut kemampuannya, baik ketika berwudhu, menyisir rambut dan memakai sandal. (HR. Bukhari).



43. Keluar masuk masjid tanpa do’a

Rasulullah menganjurkan setiap orang yang masuk dan keluar masjid hendaknya membaca do’a. Dalilnya, dari Abi Asid dia berkata, Rasulullah bersabda, Apabila salah satu di antara kamu masuk masjid, hendaklah berdo’a, Ya Allah bukakanlah aku pintu rahmat-Mu, dan bila keluar berdo’alah, Ya Allah aku mohon kepada-Mu karunia-Mu. (HR. Muslim).



44. Membungkukkan badan

Sebagian orang ketika akan keluar atau masuk masjid yang di depannya ada orang tua yang sedang duduk, ia lewat sambil membungkukkan badan dan mengulurkan tangan kanan ke bawah. Perbuatan ini tidak mengikuti sunnah, sebaiknya ditinggalkan walaupun dengan alasan menghormati orang tua. Hal ini karena kita tidak menjumpai ahli ilmu (para ulama’ -red) mengamalkannya.



45. Berjama’ah di masjid golongannya

Tidak dibenarkan orang berjama’ah mencari masjid yang sesuai dengan golongannya. Umat Islam dilarang berpecah belah, karena perpecahan adalah fitnah dan penyakit, bahkan awal permusuhan. Tampak diluar mereka ramah tersenyum simpul, tetapi hati mereka bertengkar. Inilah kenyataan yang tidak bisa kita ingkari.



Firman-Nya,



Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (QS: Ar-Ruum: 31 - 32). Tetapi jika meninggalkan masjid di desanya karena banyak bid’ahnya dan mencari masjid yang imamnya mengikuti sunnah dan di depan masjid atau sampingnya sunyi dari kuburan, maka (hal ini) termasuk mengikuti sunnah.



46. Pria memilih berjama’ah di rumah

Amalan ini menyelisihi sunnah, karena Nabi mempunyai keluarga tetapi beliau tidak berjama’ah dengan keluarganya, bahkan beliau berniat membakar rumah kaum muslimin yang tidak menjalankan shalat jama’ah di masjid.



Beliaupun menyuruh orang buta tatkala mendengarkan adzan hendaknya shalat di masjid, maka bagaimana dengan orang yang memiliki penglihatan yang sehat? Dalilnya dari Abu Hurairah, dia berkata, Datang seorang laki-laki buta kepada Nabi. Dia berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya tiada seorangpun yang menuntunku ke masjid." Lalu dia minta keringanan kepada Rasulullah agar diizinkan shalat di rumah. Beliau membolehkannya. Tatkala dia berpaling, beliau memanggilnya lalu bertanya, "Apakah kamu mendengar adzan panggilan shalat?" Dia menjawab, "Ya". "Jika begitu, datangilah." (HR. Muslim)



47. Berjama’ah di kantor atau tempat kerja

Amalan ini menyelisihi sunnah, karena Allah berfirman, Dan ruku’lah beserta orang yang ruku’. (QS Al Baqarah: 43) Lembaga Fatwa Ulama Saudi Arabia ketika ditanya bagaimana hukum shalat berjama’ah di kantor perusahaan? Mereka menjawab: Sudah menjadi ketetapan sunnah baik berupa perbuatan maupun perkataan, bahwa beliau bersama sahabat menjalankan shalat jama’ah di masjid, bahkan beliau berniat akan membakar rumah orang yang tidak berjama’ah di masjid. (Lihat Fatawa Islamiyah: 1/354)



48. Berjama’ah hanya sebagian waktu

Penyakit yang melanda kaum muslimin umumnya di negri kita, ialah malas menjalankan shalat jama’ah, mereka berjama’ah hanya waktu tertentu, seperti shalat maghrib. Sedangkan untuk shalat Isya’ dan subuh mereka merasa keberatan, sebagaimana orang munafiq berat mengerjakannya. Dalilnya, dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah bersabda: Tiada shalat jama’ah yang paling berat dikerjakan oleh orang munafik melainkan shalat subuh dan isya’, seandainya mereka mengetahui betapa besar pahalanya, tentu dia akan mengerjakannya walaupun dalam keadaan merangkak. (HR. Bukhari).



49. Merokok di masjid

Kadang kala kita jumpai sebagian masjid, disediakan asbak rokok. Sebelum imam datang, mereka merokok di halaman masjid. Bau rokok ini tentu akan mempengaruhi lingkungan di dalam masjid dan pasti mengganggu jama’ah, karena tidak semua orang senang dengan rokok. Mengganggu hukumnya haram, apalagi mengganggu orang yang beribadah.

Dalilnya, sesungguhnya Jabir bin Abdillah yakin bahwa Nabi bersabda, Barangsiapa makan bawang, hendaklah menjauhi kami, atau menjauhi masjid kami. (HR. Bukhari). Apabila ada orang makan bawang, beliau menyuruh agar menjauhi masjid, karena baunya yang mengganggu, padahal bawang itu halal dan tidak membahayakan bagi kesehatan, maka bagaimana rokok yang sudah jelas membahayakan kesehatan sebagaimana yang tertulis di luar bungkus rokok dan spanduk di sana sini, bahkan baunya lebih busuk (lebih tidak enak -red) daripada bawang? (Untuk lebih jelasnya bab ini, lihat Fatawa Islamiyah: 1/358 - 359)



50. Berpakaian yang terlarang

Berpakaian yang menutup mata kaki, (atau) tipis sehingga badannya kelihatan, tebal tapi sempit, bergambar (makhluk -red vbaitullah.), terlihat sebagian auratnya ketika ruku’ atau sujud dan sebagainya termasuk menyelisihi sunnah, kita wajib menjauhinya. Lihat pembahasan mengenai "Meluruskan Kekeliruan Imam" bagian satu dan dua.



Sumber : al-fakhrun.com
»»  read more

Fiqih Pembahasan Kekeliruan Imam Dalam Sholat

oleh Al Ustadz `Aunur Rofiq bin Ghufron

Meluruskan kekeliruan imam merupakan kewajiban umat Islam yang berilmu. Kekeliruan imam dalam sholat tidak hanya berakibat buruk kepada dirinya saja, tetapi akan mewariskan kesesatan kepada umat. Oleh karenaitu wajib bagi kita semua, apabila kita keliru hendaknya bersenang hati untuk kembali kepada yang kebenaran setelah mengetahui dalilnya. Tidak boleh malu di hadapan manusia hanya karena takut disalahkan atau gengsi karena kehilangan wibawa. Malu dihadapan Allah lebih utama daripada malu di hadapan manusia. Semoga Allah memperlihatkan kepada kita yang haq dan memudahkan kita untuk menerima dan mengamalkannya. Dan memperlihatkan kepada kita yang batil dan memudahkan kita untuk menjauhinya.



Sholat merupakan ibadah yang paling pokok setelah seseorang berikrar mengucapkan dua syahadat. Sholat adalah ibadah yang tidak bisa dikurangi atau ditambah, karena Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberi contoh langsung kepada sahabatnya. Para sahabat telah melihat sholat beliau setiap hari, dari takbir hingga salam. Bahkan beliau menyuruh umatnya agar mengikuti sholatnya tanpa menambah atau mengurangi.



Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa sallam berpesan kepada sahabatnya, yang juga untuk semua umatnya : Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat. (HR Bukhori: Kitabul Adzan) Berpijak dengan hadits di atas, maka kita selaku imam wajib mempelajari tuntunan sholat sesuai dengan sunnah Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa sallam.



Beberapa Kekeliruan Imam



1. Berpakaian sangat tipis sehingga nampak auratnya.

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin ketika ditanya bagaimana hukumnya seseorang yang sholat dengan memakai baju luar sangat tipis berwarna putih, tidak memakai kain dalam, melainkan celana pendek yang menutupi sebagian paha saja, sedangkan kulit badannya terlihat.

Beliau menjawab: "Jika orang itu memakai celana pendek tidak menutupi perut sampai lututnya, sedangkan baju luarnya tipis sekali, orang itu pada hakikatnya belum menutupi aurot, karena istilah menutupi aurot hendaknya menutupi badan sehingga, tidak kelihatan kulitnya.

Allah berfirman: Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki) masjid. (QS Al-A'rof: 31)". Rosululloh ketika melihat sahabat Jabir bin Abdulloh datang kepadanya malam hari lalu dia sholat malam bersamanya, sedangkan waktu itu dia hanya menyelimutkan pakaian yang sangat sempit sehingga membentuk semua tubuhnya beliau menasihatinya : "Jika pakaian itu sempit, jadikanlah sarung (ikatkan kainmu mulai di atas perut sampai ke bawah), jika kainmu luas sekali, maka selimutkan ke seluruh anggota badanmu". (HR. Bukhari: Kitabus Sholat)

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin berkata: "Ulama' telah sepakat, bahwa orang yang sholat sedangkan kulitnya kelihatan (karena pakaiannya yang sangat tipis) padahal ia mampu menutupi aurotnya dengan pakaian tebal, maka sholatnya tidak sah." (Lihat Fatawa Manorul Islam 11150)

Imam Syafi'i berkata: "Jika orang sholat memakai baju tipis sehingga kelihatan kulimya, maka tidak sah sholatnya". (Kitab Al-Umm 1/78)



2. Mengenakan pakaian luar yang sangat sempit

Imam hendaknya mengenakan pakaian yang lapang dan luas, tidak boleh sempit bagian Iuamya, karena akan mengganggu ketenangan dan kekhusyu'an sholat, bahkan akan membatalkan sholat apabila dia memakai kaos dan celana sempit, sehingga apabila ruku' dan sujud kelihatan sebagian kulit punggungnya. Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan berkata: "Barangsiapa sholat memakai celana sempit (press body), sedangkan dia memakai kemeja pendek, pada waktu ruku' dan sujud tertarik kemejanya sehingga kelihatan sebagian punggungnya yang seharusnya tertutup, maka batal sholatnya. Ini adalah dampak buruk dan memakai pakaian yang diimpor dari orang barat". (Al-Qoul Mubin Fii Akhthoil Mushollin 28)



3. Mengenakan pakaian bergambar

Hendaknya pakaian imam bersih dari gambar dan lukisan, agar tidak mengganggu ketenangan orang yang sedang sholat. Dalilnya: Dari Aisyah dia berkata: Rosululloh memakai khomishah (baju yang berjahit dengan benang sutra atau bulu binatang) miliknya. Baju itu banyak lukisan dan gambarnya. Lalu bellau melihat lukisan-lukisannya. Tatkala selesai sholat, beliau berkata: pergilah dengan membawa baju ini, serahkan kepada Abi Jahm, katakan bahwa baju ini tadi mengganggu sholatku, dan bawalah kemari baju tebal (yang tidak berlukisan dan bergambar) milik Abi Jahm bin Khudzaifah. (HR. Bukhori: Kitabul Libas) Dari Anas ia berkata: 'Aisyah mempunyai tabir (yang tipis berwarna lagi penuh dengan lukisan) dibuat untuk tabir kamar rumahnya. Nabi menyuruh 'Aisyah: Jauhkanlah tabir ini, sebab gambar dan lukisannya senantiasa mengganggu sholatku. (HR. Bukhari: Kitabul Libas)



4. Isbal (menutup mata kaki)

Imam tidak boleh mengenakan pakaian yang terlalu panjang hingga menutupi mata kaki. Maka hendaknya dia mengenakannya di atas mata kaki atau ditengah betisnya. Dalilnya: Dari Abu Huroiroh ia berkata: Tatkala ada seorang laki-laki sholat mengenakan sarung yang menutupi mata kakinya. Nabi menyuruh dia pergi agar berwudlu. Orang itu pergi untuk berwudlu lalu datang, beliau menyuruhnva pergi lagi, ada seorang laki-laki hertanya: "Wahai Rosululloh mengapa engkau perintah dia berwudlu lagi?". Bellau berpaling, lalu beliau berkata: "Orang itu shalat tetapi sarungnya menutupi mata kakinya. Sesungguhnya Allah tidak menerima sholat seorang laki-laki yang musbil (orang yang melakukan isbal - memakai sarung atau celana yang menutupi mata kakinya). (HR. Abu Dawud Kitabul Libas, Imam Ahmad, Imam Nasai. Imam Nawawi berkata: "Sanadnya shohih menurut kriteria Imam Muslim")



Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bias Hasan menukll fatwa dari Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah menjelaskan hadits di atas: "Maksud hadits ini -wallahu a'lam bishshowab- bahwa menutupkan sarung sampai mata kaki termasuk perbuatan maksiat, setiap orang yang melakukan kemaksiatan diperintah agar berwudlu dan sholat, karena wudlu itu bisa membakar kemaksiatan". (Al-Qoul Mubin Fii Akhthoil Mushollin hal. 37)



5. Merasa paling berhak menjadi imam karena usianya yang lebih tua

Seseorang diangkat (dipilih) menjadi imam bukanlah karena usianya, tapi yang paling bagus lagi tartil bacaan Al-Qur'annya. Dan jika mungkin, yang paling banyak hafalannya. Dalilnya: Dari Abu Mas'ud Al-Anshory ia berkata: Rasulullah bersabda: Hendaklah yang menjadi imam yang pandai bacaan Al-Qurannya. Apabila mereka sama didalam kepandaiannya, hendaklah yang paling mengerti sunnah, jika mereka sama dalam pengetahuan sunnahnya, hendaknya yang paling pertama hijrahnya, jika hijrahnya bersama-sama, hendaknya yang lebih dahulu masuk Islamnya. Riwayat lain berbunyi: kemudian yang paling tua umurnya". (HR Muslim: Kitabul Masajid wal Mawadli) Lembaga Fatwa'Ulama Saudi Arabia berfatwa: Pilihlah diantara mereka yang paling bagus lagi tartil bacaannya dan yang paling banyak hafalannya. (Fatawa Lajnah AdDaimah Lilbuhus Al-Ilmiyah Wal Ifta 7/348)



6. Tidak lancar membaca ayat Al-Qur'an dan tidak faham tajwid dan makhrojnya.

Imam hendaknya berusaha untuk mempelajari makhroj dan tajwidul Qur'an, agar bacaannya benar, dapat menambah kekhusyuan dan tidak meresahkan makmum disebabkan tidak benamya bacaan imam. Nabi bersabda: Orang yang mahir membaca Al-Qur'an bersama-sama dengan malaikat yang mulia yang baik, dan hiasilah Al-Qur'an itu dengan suaramu. (HR. Imam Bukhari Kitabut Tauhid) Syaikh Abdul Aziz bin Baz ketika ditanya tentang imam yang tidak baik bacaan ayatnya, beliau menjawab: "Hendaknya kamu berusaha menghafalkan surat-surat AlQur'an dengan tajwid dan memperhatikan makhrojnya. Aku merasa optimis -dengan izin Allah- kamu akan mampu menghafalkannya apabila ada usaha dan kesungguhan. (Majmu' Fatawa Ibnu Baz 4/393)



7. Tidak memperhatikan jarak sutroh (batas tabir) di depannya.

Yang benar, imam hendaknya sebelum bertakbir, berdekatan dengan sutroh (tabir) didepannya. Dalilnya: Dari Sahl bin Abi Hasmah sampailah berita kepada Nabi , lalu Beliau berkata: Apabila salah satu diantara kamu akan melaksanakan sholat menghadap ke tabir (depan), hendaklah dekat dengan tabirnya, syetan tidaklah mampu memutus sholatnya. (HR Abu Dawud. Al-Albani berkata: Imam Hakim menshohihkannya, Imam Adz Dzahabi dan Imam Nawawi menyetujuinya) Dalil jarak antara tempat berdiri Nabi dengan tabir depannya tiga hasta: Bilal berkata: Selanjutnya Rosululloh sholat, sedangkan jarak antara tempat beliau berdiri dengan dinding di depannya adalah tiga hasta. (HR. Imam Ahmad) Dalil jarak antara tempat sujud imam dengan dinding semisal berlalunya kambing: Dari Sahl bin Sa'ad ia berkata: Antara tempat sujud Rosululloh dan tembok semisal tempat yang bisa dilalui kambing. (HR Imam Bukhori: Kitabus Sholat)



8. Tidak menghadap lurus ke arah kiblat.

Imam tidak menghadap kiblat, tetapi serong beberapa derajat ke arah kanan (ke arah utara), padahal posisi kiblat sudah benar. Yang benar imam lurus menghadap kiblat. Dari Jabir bin Abdillah ia berkata: Rosululloh apabila sholat (sunnah) di atas kendaraannya, beliau menghadap ke mana saja kendaraannya menghadap, tetapi apa bila beliau ingin menjalankan sholat wajib, beliau turun dan menghadap ke kiblat. (HR Imam Bukhori: Kitabus Sholat)



9. Tidak menghadap kepada makmum untuk meluruskan shof.

Sebelum imam bertakbirotul ihram tidak menghadap kepada makmum untuk meluruskan shof. Yang benar, sebelum bertakbirotul ihrom hendaknya imam menghadap kepada makmum untuk meluruskan shof. Dalilnya: Anas bin Malik berkata: Ketika selesai qomat, Rosululloh menghadap ke arah kami dengan wajahnya. seraya berkata: Luruskan shofmu, rapatlah, karena aku melihatmu dari belakang punggungku. (HR Imam Bukhori Kitabul Adzan)



10. Hanya melihat shof makmum sebelum bertakbirotulihrom.

Yang benar, imam menghadap kepada makmum dan melihat shof sambil berpesan: sawwu shufufakum (luruskan barisanmu), tarooshuu (rapatkan shofmu), suddul kholal (rapatkan yang masih renggang) dan kalimat semisalnya. Dalilnya: Dari Anas bin Malik dari Nabi beliau berkata: sawwuu shufufakum fa inna taswiyatash shuhuf min iqamatishsholaat (luruskan shafmu karena lurusnya shof termasuk menegakkan shalat) (HR Bukhori Kitabul Adzan. Di dalam riwayat Bukhori yang lain, Nabi bersabda: Aqiimuu shufufakum (luruskan shofmu), tarooshshuu (rapatlah)) Didalam riwayat Abu Dawud, Nabi bersabda: Haadzuu bainal manakib (rapatkan antara pundak), suddul kholal (tutuplah yang kosong).



11. Melafadzkan niat dengan bacaan usholli

Ketika akan bertakbirotul ihram imam melafadzkan niat (misal : membaca usholli .... dan seterusnya) bahkan kadang-kadang mengeraskannya. Niat itu tempatnya dihati, tidak perlu diucapkan dengan lisan, sebab ucapan yang pertama pada waktu sholat ialah takbir "Allohu Akbar" sebagaimana sabda Nabi Muhammad: Dari 'Aisyah, dia berkata: Rosululloh memulai sholatnya dengan takbir, selanjutnya beliau membaca alhamdulillahi rabbil 'alamin. (HR. Muslim: Kitabul Sholat) Imam Nawawi berkata: "Niat hendaknya hadir bersamaan dengan membaca takbirotul ihram". (Sifatus Sholatin Nabi oleh Al-Albani: 85) Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata "Melafadzkan niat ketika akan bertakbirotul ihrom tidak ada contoh dari Nabi Muhammad, bahkan perbuatan itu termasuk bid'ah". (Majmu' Fatawa Ibnu Baz 4/202)



12. Berulang-ulang mengangkat kedua tangannya ketika bertakbirotul ihrom.

Yang benar mengangkat tangan ketika bertakbirotul ihram hanya sekali, sebagaimana contoh dari Nabi dan para sahabatnya. Ibnul Qoyyim Aljauzy berkata: "Di antara macam-macam waswas yang merusak sholat ialah mengulang-ulangi sebagian kalimat, seperti ketika duduk bertahiyyat membaca at ..at ..attahi ..attahiyatu, pada waktu salam membaca as.. as ..assaa ..assalamu'al dan ketika bertakbir ak ..ak ..ak ..akbar atau semisalnya. Pengulangan itu pada dzohimya membatalkan sholat. Jika yang melakukan imam maka dia telah merusak sholat makmum. (Ighotsatu Lahfan Min Mashoyidis Syaithon 1/158)



13. Bersedekap di atas lambung kiri

Yang benar adalah bersedekap dengan meletakkan telapak tangan kanan di alas punggung tangan kiri, atau di atas pergelangan tangan kiri, atau di atas lengan tangan kiri, lalu diletakkan di atas dada, sedangkan tangan kanan kadang kala menggenggam tangan kiri dan kadangkala tidak. Dalilnya: Dari Abu Huroirah dia berkata: Rosululloh melarang meletakkan Iangan di alas lambung ketika shalat. (HR Abu Dawud). Adapun dalil contoh bersedekap menurut sunnah: Selanjutnya Rosululloh meletakkan tangan kanannya di alas tapak tangan kiri, (atau) di alas pergelangan (langan kiri) atau di atas lengan kiri. (HR Abu Dawud Kitahus Sholal. An-Nasai Kitabul lftitah. Ibnu Hibban di dalam shohihnya (485) Al-Albani berkata: sanadnya shahih. ) Lalu beliau meletakkan dua tangannya di atas dada, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah didalam kitab shohihnya: 1/54.



14. Membaca AI-Fatihah terlalu cepat, menyambung ayat dengan ayat yang lain (tidak berhenti setiap ayat).

Yang benar, imam ketika membaca surat Fatihah atau surat yang lain pada waktu sholat hendaknya berhenti setiap ayat. Rosululloh memberi contoh kepada sahabatnya membaca Fatihah ayat demi ayat, membaca Bismalahir Rahmaanir Rahiim lalu berhenti, Alhamdulillahi rabbil 'alamiin lalu berhenti, Ar-Rahmaanir Rahiim lalu berhenti dan demikianlah seterusnya. demikian pula bacaan beliau untuk setiap surat, beliau berhenti setiap pangkal ayat dan tidak menyambungnya. (Lihat Sifatus Sholatin Nabi oleh Al Albani 96)



15. Membaca robbighfirli seusai membaca Fatihah.

Yang benar, Imam setelah membaca surat Fatihah dengan jahr, hendaknya membaca aamiin dengan suara keras pula. Adapun dalilnya sebagaimana point . Adapun membaca robbighfirli setelah membaca Fatihah termasuk amalan bid'ah.



16. Tidak mengucapkan 'amin' dengan suara keras

Yakni usai membaca Fatihah pada dua roka'at pertama sholat jahr. Yang benar: ketika Imam membaca Fatihah dengan suara keras hendaknya membaca aamiin dengan suara keras. Dalilnya: Dari Wail bin Hujr ia berkata: Rasulullah apabila selesai membaca waladh dhaaalliiin, beliau membaca aamiin dengan suara keras. (HR Abu Dawud: Kitabus Shalat dengan sanad yang shahih)



17. Memanjangkan bacaan takbir

Membaca takbir intiqol (takbir pada saat pindah gerakan shalat) dengan melantunkan suara, seperti: ...aaaaallahu akbar atau ...allaaaaahu akbar atau ..aaallaaaaahu akbaaaaar. Bacaan takbir yang benar ialah allaahu akbar (huruf lam jalalah dibaca dua harokat), baik pada waktu takbirotul ihram atau takbir intiqol, karena bacaan yang seharusnya dibaca pendek lalu dibaca panjang akan merubah makna. Ibnu Hazm berkata: "Tidak dibenarkan bagi imam memanjangkan (melanturkan) bacaan takbir, tetapi hams mempercepat. Tidak dibenarkan ketika ruku', sujud, berdiri dan duduk kecuali harus sempuma bacaan takbimya". (Al Muhalla: 4/151)



18. Tergesa-gesa dalam setiap gerakan, sehingga hilang kekhusu'annya.

Yang benar setiap gerakan hendaknya disertai dengan tuma'ninah, karena Nabi pernah menyuruh orang agar mengulangi shalatnya ketika sholamya terlalu cepat. Beliau bersabda: "...maka apabila kamu ruku', letakkan dua tapak tanganmu di atas dua lututmu, ulurkan punggungmu, kokohkan ruku'mu, jika kamu mengangkat kepalamu (dari ruku') luruskan tulang rusukmu sehingga kembali tulang itu kepada persendiannya, jika kamu sujud maka kokohkan sujudmu, jika kamu mengangkat kepalamu (dari sujud) duduklah di atas pahamu yang kiri, selanjutnya kerjakan itu semua setiap ruku' dan sujud. (HR Imam Ahmad: Musnad Al-Kufiyyin)



19. Mengusap wajah dengan tangan setelah mengucapkan salam

Yang benar, setelah salam tidak mengusap muka dengan tangannya, karena tidak ada contoh dari Nabi. Syaikh Ibnu Baz ketika beliau ditanya tentang hukum mengusap muka setelah salam, beliau menjawab: Tidak ada tuntanannya, tetapi jika mengusap mukanya sebelum salam hukumnya makruh, karena Nabi ketika salam pada waktu sholat subuh, dahinya kelihatan bekas tanah basah, karena pada malam harinya turun hujan. Ini menunjukkan lebih utamanya sebelum salam tidak mengusap mukanya. (Majmu' Fatawa Ibnu Baz: 4/272)



20. Tidak menghadap kepada makmum setelah salam

Biasanya imam tetap menghadap kekiblat setelah salam atau menghadap ke utara (arah kanan kiblat). Yang benar, setelah salam imam boleh menghadap kiblat sebentar saja untuk istighfar 3 kali dan berdzikir seperti dzikir Nabi dibawah ini: Dari 'Aisyah dia berkata: Nabi apabila setelah salam, beliau tidak duduk melainkan kira-kira membaca: "Allaahumma antas Salaam wa minkas salam tabaarakta dzal jalaali wal ikroom." (HR Muslim: Kitabul Masajid Wal Mawadli')



Syalkhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Tidak layak bagi imam duduk setelah salam menghadap kiblat melainkan untuk beristighfar 3 kali dan membaca: "Allaahumma antas Salaam wa minkas salam tabaarakta dzal jalaali wal ikroom." (Majmu' Fatawa Ibnu Timiyah 22/505)

Rosululloh apabila selesai salam, mengbadap kepada makmum, dalilnya: Kemudian beliau salam, lalu beliau menghadap ke arah kami. (HR Muslim, Kitabul Masajid wal Mawadli')



Beliau duduk lama setelah salam menghadap kepada makmum bila ada kepentingan, seperti memberi nasihat dll. Dalilnya: Dari Anas, dia berkata: Rosululloh pernah mengimami kami pada suatu hari, setelah beliau salam beliau menghadap kepada kita, lalu beliau memberi nasihat: "Wahai manusia ... " (HR Muslim Kitabus Sholat).



21. Memimpin dzikir dan membaca Fatihah bersama-sama setelah salam Yang benar, dzikir setelah sholat diakukan sendiri-sendiri bagi yang berhajat. Lembaga Fatwa `Ulama Saudi Arabia berfatwa: "Sedangkan petunjuk Nabi bahwa beliau berdzikir dan berdo'a sendirian, beliau tidak pemah mengomando sahabatnya untuk berdzikir bersam-sama. Adapun sebagian manusia membaca Fatihah dan do'a bersama-sama dikamandoi oleh imam setelah shalat termasuk amalan bid'ah." (Fatawa Lajnah Ad-Daimah Lilbuhus Al-Ilmiyah Wal Ifta' 7/122)





sumber : http://www.abusyah.co.cc/2009/08/meluruskan-kekeliruan-imam.html
»»  read more

Ragu dalam Shalat? Sujud Sahwi Solusinya

Tidak jarang disaat kita melaksanakan sholat, baik dalam keadaan sholat, maupun sudah selesai salam, timbul rasa keraguan dalam hati kita. Keraguan tersebut bisa berupa lupa jumlah raka`at yang telah dikerjakan (tertambah ataupun terkurangi), lupa tasyahhud awal, ragu saat sholat sedang berada di raka`at keberapa dan lain sebagainya.
Dan bila hal ini terjadi pada kita, jangan risau maupun bingung. Beruntunglah bagi orang yang mencintai sunnah, yakni ahlussunnah wal jama`ah. Kenapa? Karena kita tidak perlu mengada-adakan sesuatu ataupun mengarang-ngarangnya seperti yang sering dilakukan ahlul bida`seperti kaum sufi, kaum syiah, tariqat-tariqat dan seluruh firqoh yang sesat dan menyesatkan diluar ahlul hadith, ahlussunnah waljama`ah. Sebab telah ada sunnah yang telah dicontohkan Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam kepada kita tentang hal ini. Mau tahu…? Silahkan simak penjelasannya di bawah ini:


[Kasus 1].
Apabila seseorang lupa dalam sholatnya, sehingga tertambah 1 kali ruku` atau 1 kali sujud atau 1 kali berdiri atau 1 kali duduk, maka orang tersebut harus meneruskan sholatnya sampai salam, untuk selanjutnya melaksanakan sujud sahwi (dua kali sujud), lalu salam kembali.
Contohnya:
Apabila seseorang melaksanakan sholat Dzuhur, kemudian dia berdiri untuk raka`at ke lima (ke-5), tiba-tiba ia ingat ataupun diingatkan orang lain, maka ia harus duduk kembali TANPA TAKBIR, lalu membaca tasyahhud akhir dan salam, kemudian ia sujud sahwi (dua kali sujud) lalu salam kembali.
# Bila orang tersebut mengetahuinya (tambahan tadi) setelah selesai sholat, maka ia tetap harus sujud sahwi dan salam kembali.

[Kasus 2].
Apabila seseorang salam sebelum sempurna sholatnya karena lupa, namun tidak lama berselang setelah salam tersebut tiba-tiba ia ingat ataupun diingatkan orang lain dengan catatan lama waktu ia teringat atau diingatkan tersebut kira-kira sama dengan lamanya dia sholat (mulai sholat sampai salam) maka ia harus menyempurnakan sholatnya yang tertinggal tadi kemudian salam dan setelah itu sujud sahwi (dua kali sujud) dan salam kembali.
Contohnya:
Apabila seseorang sholat Dzuhur, kemudian ia lupa dan langsung salam pada raka`at ke 3 (tiga), tiba-tiba ia ingat ataupun diingatkan orang lain, maka dia harus menyempurnakan raka`at ke 4 (empat) dan salam, lalu sujud sahwi (dua kali sujud) untuk seterusnya salam.
# Bila orang tersebut sadar akan kekurangan raka`atnya tersebut DALAM JANGKA WAKTU YANG LAMA, maka ia harus mengulang sholatnya dari awal.

[Kasus 3].
Apabila seseorang meninggalkaan tasyahhud awal atau kewajiban lainnya dalam sholat KARENA LUPA, maka ia harus sujud sahwi (dua kali sujud) sebelum salam. Dan hal ini menjadi tidak mengapa baginya. Namun jika ia ingat bahwa ia belum membaca tasyahhud awal tersebut atau kewajiban lainnya itu sebelum berobah posisi-nya, maka hendaklah ia tunaikan (tasyahhud awal atau kewajiban lainnya tersebut). Dan hal demikian menjadi tidak mengapa baginya.
Jika ia ingat setelah perubahan posisi tetapi sebelum sampai pada posisi yang berikutnya, hendaklah ia kembali ke posisi yang pertama untuk menunaikan tasyahhud awal atau kewajiban lainnya tersebut.
Contohnya:
Apabila seseorang lupa tasyahhud awal dan ia langsung berdiri ke raka`at ke 3 (tiga) dengan sempurna maka ia tidak boleh kembali duduk dan wajib atasnya sujud sahwi sebelum salam.
# Bila ia duduk tasyahhud tetapi lupa membaca tasyahhud, kemudian ingat sebelum berdiri, maka ia harus membaaca tasyahhud dan kemudian menyempurnakan sholatnya, TANPA SUJUD SAHWI.
# Demikian juga bila ia berdiri seblum tasyahhud kemudian ingat sebelum berdirinya sempurna, maka ia harus kembali duduk dan bertasyahhud untuk kemudian menyempurnakan sholatnya.
# catatan:
Tetapi para `Ulama menyatakan bahwa ia harus tetap sujud sahwi dikarenakan ia telah menambah satu gerakan yakni bangkit ketika hendak berdiri ke raka`at ke 3. Wallahu a`lam
[Kasus 4].
Apabila seseorang ragu dalam sholatnya apakah telah 2 raka`at atau sudah 3 raka`at dan ia TIDAK MAMPU menentukan yang paling rojih (kuat) diantara keduanya maka ia harus membangun di atas yaqin JUMLAH YANG TERKECIL kemudian sujud sahwi sebelum salam dan setelah itu ia memberi salam.
Contohnya:
Apabila ia sholat Dzuhur dan ragu pada raka`at ke 2 (dua), apakah ini masih berada di raka`at ke 2 (dua) atau sudah ke 3 (tiga) dan ia tidak mampu menentukan yang paling rojih (benar) diantara keduanya maka ia harus memilih yang 2 (dua) raka`at (jumlah terkecil). Kemudian ia sempurnakan sisanya lalu sujud sahwi (dua kali sujud) sebelum salam kemudian setelah itu memberi salam.

[Kasus 5].
Apabila seseorang ragu dalam sholatnya, apakah telah 2 (dua) raka`at atau sudah 3 (tiga) raka`at, namun walaupun demikian, ternyata ia MAMPU untuk menentukan yang paling rojih (benar), maka ia harus membangun diatas yang diyakininya itu (apakah yang 2 raka`at ataupun yang 3 raka`at) kemudian ia sempurnakan hingga salam lalu ia sujud sahwi kemudian salam kembali.
Contohnya:
Apabila seseorang sholat Dzuhur, kemudian ia ragu pada raka`at ke 2; apakah ia masih dalam raka`at ke 2 atau sudah masuk raka`at ke 3. Namun kemudian timbul keyakinan yang kuat dalam hatinya bahwa ia berada pada raka`at ke 3 maka ia harus membangun sholatnya di atas keyakinannya itu (raka`at ke 3) lalu ia sempurnakan sholatnya hingga salam, kemudian ia sujud sahwi untuk selanjutnya salam kembali.
# Apabila keraguan datang kembali setelah ia selesai dari sholatnya, maka itu tidak dianggap atau ia tidak perlu memperdulikannya kecuali ia yakin sekali.
# Apabila ia sering ragu, maka keraguannya itu tidak dianggap atau ia tidak perlu memperdulikannya, karena itu hanyalah merupakan rasa was-was (dari syaiton).

Demikian penjelasan tentang sujud sahwi. Semoga bermanfaat dan selamat menjalankan sunnah ini.~

سبحانك اللهم وبحمدك
أشهد أن لا إله إلا أنت
أستغفرك وأتوب إليك
Sumber: dikutip dari Kitab “RASAAI’IL FII AL~WUDHU’ WAL GHUSLI WA ASH~SHOLAH”
Penulis: Syaikh Muhammad Ibnu Sholih Al~’Utsaimin Rahimahullahu Ta`ala
Halaman: 36, 37, 38
Diterjemahkan dari Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia oleh: Al Akh Dzakwan


(http://thullabul-ilmiy.or.id )
Penulis: Syaikh Muhammad Ibnu Sholih Al~’Utsaimin Rahimahullahu Ta`ala
»»  read more